O P I N I
TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG. Putusan Mahkamah konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan merubah delik formil tindak pidana korupsi dalam undang – undang Tipikor menjadi bersifat delik materil berkenaan dengan kata “dapat” pada pasal 2 ayat ‘1’ pasal 3 UUTipikor.
Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” bertentangan dengan dengan Undang – undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945. Hal menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi bukan merupakan delik formil yaitu “adanya tindak pidana korupsi dengan di penuhinya unsur – unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dan timbulnya akibat”.
Sementara itu dalam penjelasan Pasal 3 Undang – undang Tipikor di katakana “kata dapat” dalam ketentuan ini di artikan sama dengan penjelasan pasal 2”. Dengan demikian menghilangkan kata “dapat” dalam rumusan kedua norma pasal tersebut akan merubah secara mendasar delik tindak pidana korupsi dari delik formil menjadi delik materil.
Kata “dapat” dalam kamus bahasa Indonesia bermakna “mampu, bisa, boleh dan mungkin” atau dengan kata lain tidak memilki makna yang pasti dengan bermacam asumsi. Bila dirujuk dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal.3 UU Tipikor kata “dapat” bermakna :1. Merugikan keuangan negara 2. Mungkin merugikan keuangan negara 3. Potensial merugikan keuangan negara 4. Tidak harus merugikan keuangan negara yang nyata Hal ini menimbulkan ketidak pastian dalam proses hukum pidana dan ketidak adilan bagi seseorang yang di sangkakan melakukan tindak pidana dan implikasinya dapat berupa kriminalisasi terhadap seseorang yang di sangkakan melakukan tindak pidana serta dapat di jadikan alat melindungi pelaku utama.
Berkaitan dengan Pasal 55 KUH Pidana tentang penyertaan yang di maknai dengan kualitas kontribusi yang signifikan substansial dari peserta pelaku perbuatan pidana. Sering terjadi penyertaan (turut serta) hanya di lekatkan begitu saja dalam surat dakwaan dan bahkan dalam putusan pengadilan tanpa pernah ada penjelasan kualifikasi kerjasama yang berdasarkan kesadaran dan eratnya hubungan, Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana menjelaskan tiga kategori pelaku pidana, pertama melakukan; kedua menyuruh melakukan dan ketiga turut melakukan perbuatan.
Namun dalam proses peradilan sering terjadi tidak ada pernyataan yang jelas mengenai seseorang melakukan perbuatan “turut melakukan”. Delik materil pidana korupsi di nyatakan dalam Undang –undang No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara Pasal 1 angka 22 yang menyatakan “Kerugian negara / daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan brang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai”.
Kerugian negara harus betul – betul ada dan merupakan akibat yang “nyata” dari perbuatan melawan hukum atau menyalah gunakan wewenang sehingga menjadi delik materil. Apalagi menurut Undang –undang Administrasi Pemerintahan (UU AP) bahwa untuk menilai ada atau tidaknya perbuatan menyalah gunakan kewenangan dapat di uji melalui Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan hukum Administrasi karena hukum pidana upaya terakhir dalam penegakan hukum Administrasi atau sebagai Ultimum remedium.
Lalu bagaimanakah dengan kebijakan / wewenang Pemerintahan Daerah terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 mengenai delik materil proses hukum pidana korupsi dimana kebijakan / kewenangan Pemerintahan daerah terkadang dan sering menjadi alat bukti perbuatan pidana korupsi.
Mengutip Pernyataan Dr. Indra Perwira, SH., M.H dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 10 Mei 2016 dan tanggal 7 Juni 2016 yang menyatakan : “Terjadinya penyalah gunaan wewenang oleh Pejabat atau Badan Administrasi dapat di telusuri dari tiga hal, yaitu dari sumber wewenang, substansi wewenang, dan azas kebebasan bertindak (freies emessen).
Seperti dimaklumi, suatu wewenang selain bersumber dari undang – undang (atribusi), bisa bersumber dari pelimpahan (delegasi) atau penugasan (mandat). Dimana yang kedua dan ketiga biasanya tidak sejelas yang pertama, bahkan terhadap wewenang atribusi dalam prakteknya tidak jarang Pejabat Administrasi melakukan misinprestasi”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan, “Meski sesuai prinsip negara hukum setiap kewenangan administrasi harus berdasarkan hukum, tetapi pada situasi dan kondisi tertentu dimana hukum belum atau tidak jelas mengatur maka pejabat atau badan adimistrasi tersebut harus membuat tindakan atau putusan berdasarkan kebijakan (discretionary of power).
Kadang freies emessen itu di tuangkan dalam bentuk peraturan yang di kenal sebagai peraturan kebijakan (beleid regel)”, menurut Dr. Indra Perwira, SH., M.H. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 tahun 2015 pasal 20 menyatakan antara lain; “….Jika di temukan kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara akibat penyalah gunaan wewenang, maka dilakukan pengembalian kerugian negara dalam jangka waktu 10 hari sejak di terbitkannya hasil pengawasan ………” namun belum di hitung bila ada banding.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 tahun 2015 ini berwujud dalam bentuk rekomendasi BPK RI yang harus dilaksanakan oleh Pejabat atau badan Administrasi dalam waktu 60 hari plus 30 hari mengingat menurut Perma Nomor 4 tahun 2015, rangkaian proses mulai dari penerimaan perkara, pemeriksaan, sampai terbitnya putusan pengadilan dapat menempuh waktu tiga bulan.
Hasil penelitian Prof. Dr. Eddy O.S Hiriej, SH., M.Hum, menunjukkan 80% tersangka korupsi di jerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena kedua pasal tersebut mengandung norma kabur yang dapat di gunakan untuk menjerat siapapun yang melakukan perbuatan apapun karena norma kabur di persidangan sangat mudah di buktikan oleh Penuntut Umum. Hal ini bisa dianggap suatu hal yang wajar pada saat masa awal – awal reformasi karena unsur balas dendam (Lex talionis) sehingga tidak satupun terdakwa tindak pidana korupsi bisa lepas dari vonis hukuman kurungan.
Namun Mahkamah Konstitusi memandang dari sudut konstitusi terdapat unsur ketidak pastian pada kata “dapat” pada pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sehingga delik formil pada UU Tipikor di ubah menjadi delik materil.
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusanya menyatakan kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana di ubah dengan Undang – undang No. 20 tahun 2001 bertentangan dengan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. “Di ucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 25 bulan Januari tahun 2017”.
Penulis Opini: Feri Kurniawan
Posted by: Transformasinews.com