UU Tipikor Bikin Sejumlah PNS Waswas

fot-201508-002888
Foto:MI/SUSANTO

TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA. MANTAN Hakim Konstitusi Harjono menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 multitafsir dan ambigu karena mencantumkan kata ‘dapat’.

Ia mengatakan kata ‘dapat’ harus dihilangkan.

“Sama-sama perbuatannya, yang satu dilakukan yang rugi bukan negara, tak jadi perbuatan korupsi. Sejauh itu kemudian merugikan negara, jadi perbuatan korupsi. Kata ‘dapat’ harus dihilangkan dari rumusan itu,” ujar Harjono yang menjadi saksi ahli di Gedung MK, baru-baru ini.

Ia juga mengkritik frasa ‘atau orang lain atau suatu korporasi’ dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Menurutnya, frasa yang tercantum dalam undang-undang a quo mengandung ketidakpastian hukum.

Harjono mencontohkan seorang kepala bagian dapat terkena Pasal 2 ayat (1) hanya karena setuju memberi izin tidak masuk kantor kepada bawahannya dalam rentang waktu tertentu agar bawahannya tersebut bisa mengerjakan proyek pribadi.

“Kepala bagian itu jelas menipu atau memberikan keterangan palsu dalam memberikan izin. Namun, ia terjerat delik korupsi seperti yang termaktub dalam pasal a quo. Padahal, itu bukan original intention penyusunan ketentuan tersebut,” lanjut Harjono.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang menilai harus ada asas objektivitas dalam menafsirkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.

“Kata ‘dapat’ memperluas dan menciptakan sistem yang tidak terstandar, tiada parameter, dan kriteria,” ujarnya.

Sidang perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016 itu dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Selasa (24/5).

Perkara itu diajukan enam pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa hak konstitusional mereka dilanggar dengan pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.

Pemohon menyebutkan kata ‘dapat’ dalam pasal a quo membuat mereka khawatir dan tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan karena takut dianggap korupsi.

Isi pasal yang dimaksud ialah ‘setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar’.

Korupsi Ancaman bagi Kredibilitas Negara

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

MENTERI Koordinator Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan 102 kepala daerah hasil Pilkada 2015 untuk mengemban jabatan yang mereka miliki dengan baik.

“Jabatan dan kewenangan membuat peluang (korupsi) dan bahaya kalau kita tidak hati-hati. Kalau kita enggak kuat, ya kita bisa kena. Saya imbau untuk hati-hati,” ujarnya dalam Pembukaan Diklat Kepala Daerah Angkatan Ke-2, di Jakarta, kemarin.

Luhut menekankan korupsi merupakan ancaman bagi kredibilitas negara.

Ia mengakui korupsi merupakan masalah besar yang harus diberantas secara bersama-sama. Untuk itu, ia mendukung langkah Kementerian Dalam Negeri untuk mengadakan e-government.

“Itu akan susah (untuk melakukan korupsi),” tegasnya.

Hal senada pun diutarakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Ia mengatakan kepala daerah harus memahami peta area rawan korupsi di daerah.

“Pahami ancaman bangsa menyangkut narkoba, korupsi, kesenjangan sosial, dan radikalisme, terorisme dan area rawan bencana,” tandasnya.

Sumber:Media Indonesia

Editor: Amrizal Aroni

Posted by: Admin transformasinews.con

Leave a Reply

Your email address will not be published.