Sering Tak Ikuti Rapat Banggar, Ridho Dicecar Hakim

Anggota DPRD Sumsel periode 2009-2014 Muhammad F Ridho (tengah) saat mengikuti persidangan.– Foto Ferdinand/koransn

TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG. Anggota DPRD Sumsel periode 2009-2014 Muhammad F Ridho yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar), Selasa (16/5/2017) dicecar pertanyaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Klas I A Palembang. Hal itu terungkap saat Ridho dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi dana hibah 2013 dengan terdakwa Laonma PL Tobing (Kepala BPKAD Sumsel) dan Ikhwanudin (mantan Kepala Kesbangpol Sumsel).

Cecaran Majelis Hakim kepada Ridho terjadi saat hakim anggota Abu Hanifiah SH MH mengajukan pertanyaan terkait proses pengajuan kenaikan dana reses dari Rp 2,5 miliar menjadi Rp 5 miliar.

“Saudara saat itu kan menjabat sebagai anggota Banggar. Apakah saudara tahu tentang kenaikan dana reses tersebut. Coba jelaskan dan apakah kenaikan dana reses tersebut juga dibahas dalam rapat Banggar,” tanya hakim.

Dijawab Ridho jika dirinya tidak mengetahui secara persis. Pasalanya, saat itu dirinya jarang mengikuti rapat-rapat di Banggar.

“Saya tidak tahu yang mulia Majelis Hakim. Sebab ketika itu saya jarang mengikuti rapat, yang saya ingat jika saya hanya ikut awal rapat Bangar yang membahas pendapatan daerah dan pengeluaran biaya belanja daerah saja. Saya banyak tak ingat karena saat itu saya tidak menghadiri beberapa rapat,” ujarnya.

Para saksi yang hadir dalam sidang dugaan korupsi dana hibah Sumsel di PN Tipikor Palembang. (foto-ferdinand/koransn.com)

Mendengar jawaban saksi membuat hakim menyingung kinerja Ridho selaku anggota DPRD Sumsel saat itu.

“Kalau jarang ikut rapat itu artinya anda jarang masuk kerja. Enak ya menjadi anggota dewan seperti itu, apalagi tunjangan saudara tetap penuh kan ? Tidak pernah dipotong. Sekarang coba jelaskan apa yang saksi ketahui,” ungkap Hakim. Usai mendengarkan perkataan hakim membuat Ridho terdiam sejenak.

Kemudian diterangkan Ridho, jika kenaikan dana reses diketahuinya dari informasi teman-temannya sesama anggota dewan. Hal itu dikarenakan, selain tak mengikuti rapat permintaan kenaikan dana reses dirinya juga tidak pernah mengusulkan permintaan kenaikan dana reses tersebut.

“Pengusulan kenaikan dana reses itukan di rapat Penitia Urusan Rumah Tangga (PURT) dan saya tidak mengikuti rapat tersebut.
Namun, taklama rapat tersebut digelar, ada seorang staf di DPRD meminta saya menandatangani surat yang katanya sebagai bukti agar anggota DPRD menyetujui kenaikan dana reses. Dari itulah saya menandatanganinya. Untuk siapa yang menyuruh staf tersebut membawa surat agar saya menandatanganinya, itu saya tidak tahu,” paparnya.

Mendengar kesaksian tersebut membuat Majelis Hakim kembali mengajukan pertanyaan kepada saksi. Hal tersebut dikarenakan Hakim menduga jika Ridho mengetahui orang yang membuat surat permintaan kenaikan dana reses tersebut.

“Apa saksi tidak tahu dari siapa surat yang diterima dan ditandatanggani saudara tersebut. Saksi tidak menanyakan kepada staf yang membawa surat itu, saudara kan anggota dewan yang tugasnya di DPRD, masak sih tidak tahu,” tegas hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi.

Menjawab pertanyaan hakim, lagi-lagi Ridho mengaku tidak tahu dalam persidangan. “Saya benar tidak tahu yang mulia Majelis Makim,” katanya.

Lebih jauh diungkapkan Ridho, meskipun ia tak mengetahui siapa orang yang menyuruh staf di DPRD membawa surat kepadanya untuk ditandatanganinya. Namun taklama kemudian, dana reses memang terjadi kenaikan.

“Dana reses itu naik menjadi Rp 5 miliar, makanya saat itu saya menyalurkan dana reses dengan jumlah tersebut ke Dapil saya yakni, Muba dan Banyuasin. Dari jumlah tersebut untuk Rp 1,6 miliar saya salurkan untuk bantuan pembangunan fisik seperti jalan yang dikerjakan SKPD. Sedangkan sisanya, disalurkan dalam bentuk bantuan dana hibah kepada kelompok masyarakat. Kalau untuk proses pencarian bantuannya, para pemohon mengajukan proposal ke BPKAD yang kemudian BPKAD menyalurkan dana tersebut langsung kepada masyarakat,” tandasnya.

Sementara Lily Martiani Maddari anggota DPRD Sumsel periode 2009-2014 yang juga menjadi saksi dalam persidangan tersebut mengungkapkan, jika saat itu dirinya tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai anggota DPRD. Hal itu dikarenakan di tahun 2013 dirinya sedang melakukan upaya hukum perdata di PTUN hingga ke Mendagari.

“Karena itulah saya tidak fokus. Terkait dana reses Rp 5 miliar untuk Dapil saya di Lubuk Linggau dan Musi Rawas, saya juga tidak terlalu mengikutinya. Namun, saat itu Darmadi yang merupakan anggota DPRD yang Dapilnya sama dengan saya menemui saya. Dalam pertemuan itulah Darmadi menyampaikan jika dana reses saya disalurkan oleh Darmadi ke masyarakat. Karena Dapil kami kan sama,” jelasnya.

Sedangkan RA Anita Noeringhati, yang juga saksi dalam persidangan mengatakan, saat menjadi anggota DPRD Sumsel
periode 2009-2014, ketika itu dirinya menjabat sebagai Sekertaris Komisi V DPRD Sumsel, Dapil Palembang.

“Untuk dana reses, semuanya saya salurkan ke Dapil saya. Karena saya Komisi V yang membidangi pendidikan maka saat itu saya menyalurkan bantuan ke bidang pendidikan. Adapun bantuan tersebut yakni; bantuan mobiler dan buku dengan nilai Rp 4 miliar. Selain itu juga ada bantuan Rp 800 juta yang disalurkan untuk masjid. Kemudian, ada juga dana reses senilai Rp 20 juta yang tidak dilakukan pencairan. Hal ini dikarenakan saat itu ada proposal dobel, makanya saya mencabut proposal yang diajukan masyarakat ke BPKAD sehingga untuk dana reses senilai Rp 20 juta tersebut tidak terealisasikan dan kini masih berada di BPKAD,” paparnya.

Seusai menghadirkan tiga saksi dari anggota DPRD Sumsel periode 2009-2014. Dalam persidangan tersebut Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung RI dan Kejati Sumsel juga menghadirkan Kepala Inspektorat Pemprov Sumsel, Tanda Subagio saksi.

Dalam persidangan saksi Tanda Subagio mengungkapkan, sebelum dugaan kasus dana hibah Sumsel tahun 2013 diperiksa oleh Kejagung RI. Saat itu dirinya menerima laporan dari BPK RI terkait temuan adanya sejumlah penerima dana hibah yang tidak ada pertangungjawabannya.

“Menindaklanjuti hal tersebut maka kami berkoordinasi dengan BPK untuk melakukan monitoring dan evaulasi kepada SKPD yang tak menyerahkan laporan pertangungjawaban, sehingga akhirnya uang senilai Rp 1 triliun lebih dikembalikan para penerima hibah ke BPK RI. Terkait perkara ini sampai ke persidangan, saya juga tak tahu persis, sebab pemeriksaan semuanya dilakukan BPK RI sedangkan kami hanya membantu memonitoring saja. Namun, sepengetahuan saya, dugaan kasus ini naik ke pidana karena adanya temuan pelanggaran SOP saat menyalurkan dana hibah tersebut,” tandas Tanda Subagio.

Selain itu, dalam persidangan tersebut JPU juga menghadirkan lima saksi yang merupakan tim verifikasi proposal di Kesbangpol Sumsel. Kelima saksi tersebut yakni; Ernawati, Herawati, Erwin Alfian dan Taniyati (Keempatnya PNS di Kesbangpol Sumsel). Sedangkan saksi lainnya yakni, Bambang Wijarnanto yang merupakan pegawai TKS di Kesbangpol Sumsel saat itu.

Dalam persidangan tersebut, kelima saksi dihadirkan secara bersamaan. Bahkan pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim dan Tim JPU hanya terkait proses verifikasi proposal.

Saksi Ernawati mengatakan, verifikasi proposal dilakukannya bersama teman-temanya sesama tim dengan memeriksa kelengkapan adminstrasi proposal saja. Setelah diperiksa, kemudian proposal yang lengkap dibahas dalam rapat untuk diajukan ke tahan pencairan di BPKAD.

“Saat itu ada 700 lebih proposal dari LSM dan Ormas yang masuk. Setelah diverifikasi, yang lolos dan memenuhi syarat hanya 300 lebih proposal. Nah setelah diverifikasi dan dilakukan rapat untuk diajukan ketahap pencairan, kami tida tahu lagi. Sebab ada Kabid yang melakukan proses selanjutnya,” ungkapnya.

Usai mendengarkan keterangan para saksi, Ketua Majelis Hakim, Saiman SH MH didampingi hakim anggota Abu Hanifiah SH MH dan Arizona SH MH menutup persidangan dan akan kembali digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi lainnya.

Sumber: Koransn(ded)

Posted by: Admin Transformasinews.com