Baru Disahkan, UU Pemilu Diuji ke MK

Pimpinan sidang Fadli Zon (tengah) bersama Taufik Kurniawan (kiri), Setya Novanto, Agus Hermanto, dan Fahri Hamzah pada sidang Paripurna ke-23 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (20/7/17). FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS

TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA. Perseteruan fraksi-fraksi yang mendukung Presidential Threshold (PT) dengan kubu penolak ternyata belum selesai di akhir paripurna. Meski kubu pendukung ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen unggul secara aklamasi, kubu penolak yang melakukan walkout (WO) di akhir paripurna pengesahahan UU Pemilu, Jumat (21/7) dinihari, menyatakan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Seperti diketahui, rapat paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR Setya Novanto telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU dalam rapat paripurna kemarin dinihari. Paripurna diwarnai aksi WO oleh empat fraksi yang memilu RUU Pemilu dengan opsi B yaitu Presidential Threshold 0 persen.

DPR akhirnya menetapkan RUU Pemilu secara aklamasi untuk memlih opsi A yaitu presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.

Fraksi yang memastikan akan mengajukan uji materi ke MK adalah Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan bahwa pihaknya akan terus berusaha agar ambang batas presidential threshold di UU Pemilu bisa dibatalkan melalui mekanisme yang konstitusional.

“Saya kira langkah-langkah hukum selanjutnya akan ditempuh termasuk uji materi RUU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Fadli di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (21/7).

Fadli menyatakan, pada putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013, pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 dilaksanakan secara serentak. Logikanya, dengan pelaksanaan serentak, maka pemilu 2019 seharusnya tidak ada ambang batas parpol untuk mengajukan capres dan cawapres.   ”Keserentakan itu menurut para Ketua MK baik Hamdan Zoelva maupun Mahfud MD demikian tidak ada lagi ‘presidential treshold’,” kata Fadli.

Berbeda dengan Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PAN tidak akan terjun langsung mengajukan uji materi UU Pemilu. Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto menyatakan, PAN akan memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang nanti akan mengajukan gugatan. Dalam posisi itu, PAN menurut Yandri sudah merasa terwakili.

”Kalau mengajukan materi ke MK itu sudah antri. Semua ahli hukum tata negara termasuk mantan hakim konstitusi yang mengadili perkara tentang pemilu presiden dan legislatif juga akan mengajukan,” ujar Yandri.

Diantara pihak yang juga mengajukan uji materi adalah pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu menegaskan bahwa dirinya nanti adalah orang pertama yang akan mengajukan uji materi, jika paripurna DPR memutuskan adanya ambang batas presidential threshold. “Saat nanti UU Pemilu sudah masuk dalam lembaran negara, saat itu juga kami akan gugat.” kata Yusril.

Fraksi PKS belum menentukan sikap apakah akan mengajukan uji materi atau tidak. “Belum ada arahan,” terang Sutriyono, anggota pansus RUU Pemilu dari Fraksi PKS. Jika ada masyarakat yang mengajukan, pihaknya sangat menghargai. Menurut dia, ambang batas presiden sudah jelas melanggar konstitusi.

Dalam rapat paripurna, kata dia, partainya sangat jelas menolak untuk menvoting pasal yang bersifat inkonstitusional. Jadi, persoalannya bukan menang atau kalah, tapi poin yang akan diputuskan itu tidak layak untuk divoting.

Fraksi Partai Demokrat yang juga menolak ambang batas presiden 20 – 25 persen mempersilahkan masyarakat untuk mengajukan. “Itu hak masyarakat untuk mengajukan gugatan,” terang dia Benny K Harman, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Pihaknya tidak akan langsung mengajukan JR.

Terpisah, anggota pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDIP Arif Wibowo menyatakan langkah pihak-pihak untuk mengajukan uji materi adalah hak konstitusional masing-masing. Namun, Arif juga mengingatkan, selain uji materi terkait pemilu serentak, MK juga pernah menguji objek gugatan terkait ambang batas. ”Dalam putusan MK, ambang batas adalah hak pembuat UU,” kata Arif.

Menurut Arif, sudah dua kali pemilu di Indonesia menggunakan ambang batas. Dirinya menepis jika dengan penetapan ini, muncul potensi calon presiden tunggal. ”Pengalaman pilpres 2009 dan 2014 sudah membuktikan, banyak calon muncul dengan ambang batas ini,” ujarnya.

Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, pihaknya sangat menyadari bakal banyak yang mengajukan uji materi ke MK. Secara pribadi, dirinya siap jika dipanggil sebagai saksi dalam sidang di MK nanti. Ia akan menjelaskan semua proses yang terjadi dalam pembahasan revisi undang-undang. Termasuk soal ambang batas presiden. Bagaimana perdebatan antar fraksi. Menurutnya, pria asal Riau itu juga akan menyampaikan bahwa pansus sudah datang ke MK untuk konsulatasi dan mengundang pakar hukum.

Politikus PKB itu menyarankan agar MK mengumumkan ke publik terkait waktu pengajuan JR untuk UU Pemilu. Mungkin perlu diberi batas waktu, sehingga penyelesaian gugatan bisa cepat selesai. Jadi, JR untuk undang-undang baru itu perlu diprioritaskan, sehingga tidak sampai menganggu proses persiapan pemilu 2019.

Namun, penanganan uji materi sepenuhnya menjadi kewenangan MK. Jadi, pihaknya hanya memberi masukan saja. Pansus sendiri siap menghadapi gugatan terkait undang-undang yang sudah dibuat.

Menurut Lukman, pengajuan uji materi ke MK masih menunggu UU itu diundangkan di lembar negeri. Dia berharap, pada 1 Agustus mendatang, UU Pemilu yang baru sudah diundangkan. Saat ini, pansus masih menyelesaikan sinkronisasi terhadap pasal-pasal yang ada. “Senin sudah selesai,” terang mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin juga menilai PT 20-25 persen sebagai pelanggaran konstitusi. Menurutnya, Putusan MK  Nomor 14/PUU-XI/2013 empat tahun lalu bukan hanya bermaksud menyerentakkan pemilu. Tapi juga memberikan hak yang sama kepada partai untuk bisa mengajukan calon presiden.

“Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 juga menyatakan bahwa hak setiap parpol peserta pemilu mengusulkan pasangan capres,” ujarnya.

Dalam Putusan, lanjutnya, MK sejatinya telah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan Presiden bagi Partai Politik, tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem Presidensial. Sebaliknya, PT justru membelenggu presiden. Pasalnya, untuk bisa mencalonkan presiden, partai harus saling lobi dan tawar menawar dengan partai lainnya.

“Ini berakibat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari,” imbuhnya. Parahnya, lanjut Irman, negosiasi itu pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat dibanding kepentingan strategis dan jangka panjang.

Oleh karena itu, dalam pemerintahan, presiden terpilih pada faktanya menjadi sangat tergantung pada koalisi partai politik yang mengusungnya. Akibatnya, dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan .

Irman menilai, syarat ambang batas yang telah diputuskan DPR dan Presiden justru menyandera Presiden yang berkuasa, dan melemahkan kekuasaan Presidensial. “Ambang batas tersebut sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena kawin paksa Capres,” terangnya.

Selain itu, parpol yang memperoleh kursi di DPR pada pemilu 2014, tidak serta merta mendapatkan kursi lagi pada pemilu 2019. Sehingga intensi penguatan presidensial tidak linearterjadi. Jutsru menyandera dan melemahkan kekuasaan Presiden itu sendiri yang sudah dipilih oleh rakyat. 

Sumber:Harianrakyatbengkulu.com (bay/lum/far)

Posted by: Admin Transformasinews.com