Ketika Kebun Sawit Menggusur Tikar Purun Pedamaran

Warga-Desa-Pedamaran-Lagi-mengayam-purun-300x224TRANSFORMASINEWS, KAYUAGUNG.  – Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. dikenal masyarakat sebagai “kota tikar”. Produksi tikar purun dari desa ini menyebar di Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, hingga Bangka Belitung. Kini desa ini terancam tidak dapat memproduksi tikar purun. Kenapa?

Hamparan persawahan menjadi penghias perjalanan menuju desa seluas 200 hektar tersebut.Dari kota Kayuagung jaraknya sekitar 50 kilometer atau dibutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.

Mayoritas warga di desa ini hidup dari hasil pertanian seperti sawah tadah hujan yang dilakukan setahun sekali, ada juga yang mengolah kayu, dan berdagang. Tapi, daerah ini juga terkenal dengan kerajinan tikar purunnya.Dapat dipastikan hampir 90 persen perempuan di Desa Pedamaranbisa menganyam tikar, sebuah keahlian yang didapatkan secara turun temurun.

Kecamatan Pedamaran luasnya mencapai 1.059,68 kilometer persegi dengan Jumlah penduduk 45.448 jiwa. Kecamatan Pedamaran terdiri 14 desa; antara lain Pedamaran 1, Pedamaran 2, Pedamaran 3, Pedamaran 4, Pedamaran 5, Pedamaran 6, Srinanti, Sukadamai, Sukaraja, Cinta Jaya, Burnai Timur, Menang Raya dan Lebuh Rarak Serta Suka Pulih. Mayoritas rumah penduduknya berbentuk rumah panggung, dan rumah rakit yang menetap di sungai.

Bagi masyarakat yang bermarga Danau dari suku Pandesak ini, menganyam tikar purun bukan hanya untuk mencari nafkah, juga untuk menjaga tradisi leluhur yang hingga kini terus dilestarikan.

Membuat tikar purun melalui berapa tahapan. Purun yang merupakan rumput liar panjang yang tumbuh dilebak, diambil dan dikeringkan selama dua hari. Kemudianpurun ditumbuk sampai pipih dengan antan (alat penumbuk purun). Setelah itu baru dianyam menjadi sebuah tikar.

“Untuk menghasilkan satu helai tikar dibutuhkan waktu sekitar satu hari bagi mereka yang sudah mahir. Dan pemula bisa dua sampai tiga hari,” kata Fatma,pengrajin tikar purun. “Hasil dari anyamannya ini kemudian dijual ke pengepul dengan harga Rp 6.000 per tikar,”lanjutnya.

Membeli purun dari desa lain

“Sejak dulu Pedamaran sudah dikenal dengan dengan tikar purunnya. Mayoritas warganya, terutama para ibu, menggeluti usaha yang berbahan baku purun tersebut, tapi sayang kian hari pengrajin tikar khas di sini mulai berkurang,” kata Ermodi, warga Desa Pedamaran 6.

Kenapa? Ada beberapa alasan yang membuat sebagian warga pedamaran mulai meninggalkan kerajinan tersebut.Misalnya harga jual tikar purun ke pengepul sangat rendah yaitu hanya Rp 6.000 perhelai. Selain itu bahan baku purun yang sangat sulit didapatkan bahkan nyaris tidak ada lagi.

Menurut Ermodi, dahulu purun diambil dari lebak di desa Pedamaran, yang disebut lebak purun. Tapi lebak purun ini sudah tidak ada. Sudah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit. “Akibatnya bahan purun harus didatangkan warga dari daerah lain,” katanya.
>
> Hal ini dibenarkan Fatma. Saat ini dirinya harus membeli dari salah seorang warga di desanya, yang mendapatkan purun dari daerah Pangkalanlampam. “Beda dengan dulu bahan bakunya tinggal diambil di desa ini, tapi sekarang harus beli sehingga mengurangi pendapatan kami,” katanya.

“Kalau lebak purun di Pangkalanlampan juga habis untuk kebun sawit, dipastikan tikar purun tidak dapat kami buat lagi,” ujarnya.

Keberadaan perkebunan sawit itu, diperkirakan menyebabkan pendapatan masyarakat Pedamaran menurun. Sebab perkebunan sawit menyebabkan kawasan lebak menjadi kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan, sehingga menyebabkan pertanian menurun produksinya, termasuk pula perikanan, serta habisnya purun sebagai bahan baku tikar.

Dedi Kurniawan, kepala Bagian Humas Pemerintah Daerah Kabupaten OKI, mengatakan, pemerintah OKI sangat menyadari tikar purun ini harus tetap dilestarikan. “Pedamaran dari dulu sudah dikenal sebagai kota tikar dan tradisi mengayam purun ini sudah ada sejak dulu,”katanya.

Mengenai perkebunan sawit diakui Dedi turut mengurangi ketersediaan purun. “Ini memang kontradiktif disatu sisi tradisi dan kearifan lokal, dan disisi lain perkebunan sawit juga untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri salah satunya melalui plasma.”

Yang dapat dilakukan pemerintah OKI selama ini guna menjaga tradisi tersebut, menjadikan kerajinan purun sebagai handycraft khas OKI, seperti dibina dan hasilnya ditampilkan dalam pameran di tingkat nasional maupun international. “Misalnya pada 2012 lalu purun ikut dipamerkan di Taiwan,”ujarnya.

Sumber:  (Jurnalsumatra.com‎)