Dilema Hukum Penerapan Diskresi “Presiden Terkesan Melindungi Para Bawahannya”

ketua kpk agus rahardjo
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) berbincang dengan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (kanan) dalam penandatanganan nota kesepahaman di gedung KPK, Jakarta, Senin (25/7).(ANTARA)

TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA. – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Agus Raharjo mengkritik himbauan Presiden Joko Widodo kepada aparat penegak hukum agar tidak melakukan pemidanaan terhadap kepala daerah karena melakukan diskresi.

Tindakan yang dilakukan pejabat negara dalam mengambil suatu keputusan atau lazim disebut diskresi, menurutnya, harus dilakukan dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Himbauan Presiden itu terkesan melindungi para bawahannya, terutama kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, maupun walikota tidak bisa dipidana.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritik hal tersebut. Sebab dalam perjalanannya, pejabat negara sering kali berlindung jika melakukan suatu tindakan yang melanggar peraturan dengan alasan diskresi.

Menurut Agus, himbauan tidak dikenakannya tindak pidana bagi kepala daerah yang melakukan diskresi bukanlah solusi yang tepat dan hanya terkesan mengambil jalan pintas saja.

“Kalau saya kritik sedikit boleh ya? Isunya adalah karena penyerapan (anggaran) yang lambat. Solusinya itu loncat. Banyak yang dipanggil ke Istana, lalu diskresi jangan dipidanakan. Mestinya dibangun sistem, ini loncat,” kata Agus saat memberi sambutan dalam peluncuran aplikasi Jaga di kantor KPK, Senin (25/7).Agus mengatakan, diskresi memang diperbolehkan tetapi dengan catatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai tindakan yang diambil. Ia mencontohkan pengambilan keputusan terkait pelaksanaan anggaran di daerah.”Misalnya, Bapak/Ibu APBNP September, lalu apa boleh saya tunjuk langsung? Harusnya Kemenkeu buat edaran, APBNP September, boleh ditarik tahun ini dan tahun depan. Diskresi boleh dilakukan kalau overmacht, kondisi terpaksa. Maaf kalau saya kritik sedikit,” ujar Agus.

Overmarcht sendiri berarti keadaan terpaksa. Dalam Pasal 48 KUHP berbunyi “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa telah melakukan sesuatu dibawah pengaruh dari suatu keadaan memaksa,” begitu bunyi pasal tersebut.

Dalam pengertiannya, keadaan memaksa dapat diartikan dalam tiga kategori. Pertama peristiwa yang di dalamnya terdapat pemaksaan fisik, kedua peristiwa yang di dalamnya terdapat pemaksaan psikis, dan ketiga peristiwa yang di dalamnya terdapat suatu keadaan memaksa lainnya.

Agus melanjutkan jika para kepala daerah menerima persetujuan APBNP pada bulan Oktober, maka seharusnya sudah tidak ada lagi pengajuan yang lain. Kemudian, setelah itu para kepala daerah hanya tinggal menyelesaikannya di depan anggota dewan.

“Kalau mau bangun itu, saya kasih clue, buka anggaran kesehatan Amerika. Setahun sebelumnya anggaran sudah diajukan ke kongres dalam bentuk yang cukup detail. Lalu anggaran militernya, dimana pasukan Amerika akan bawa ke Irak sudah ketahuan, peluru ini, bawanya ini,” pungkas Agus.

Himbauan ini, menurut Agus, bisa berimbas pada program revolusi mental yang digaungkan pemerintah. Program tersebut terkesan dilakukan tidak tulus dan hanya setengah-setengah. Mantan Ketua LKPP ini mengatakan, revolusi mental harus memiliki dasar yang kuat, karena itu harus ada aturan yang kokoh untuk mewujudkan program tersebut.

“Kalau kita punya program revolusi mental, kan ada program, tidak langsung terwujud. Pembentukan revolusi mental, harus ada aturan-aturannya,” tuturnya.

KESAN LINDUNGI BAWAHAN – Agus memang tidak secara langsung mengatakan dirinya menentang instruksi Presiden Jokowi terkait diskresi. Ia terkesan malu-malu untuk mengkritik pernyataan Jokowi, yang meminta jangan diambil tindakan hukum berupa pemidanaan terhadap tindakan diskresi.”Saya tidak ngomong begitu. Silakan anda terjemahkan sendiri saja,” ujar pria kelahiran Magetan, Jawa Timur berusia 60 tahun tersebut.Begitupun mengenai instruksi Presiden ini apakah ditujukan pada kasus-kasus tertentu. Sebab diketahui, KPK memang berkali-kali memproses hukum kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan kepala daerah, maupun para anggota dewan.

Seperti diketahui akhir-akhir ini KPK gencar melakukan pengusutan sejumlah kasus korupsi di lingkungan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Diantaranya kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras. Serta kasus terkait izin reklamasi dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, yang mengarah pada pengusutan kasus pembangunan sejumlah rumah susun yang sebagian dananya diambil dari pungutan pengembang reklamasi. Langkah ini merupakan inovasi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang mengadopsi gagasan Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Sebagai upaya mengentaskan pemukiman kumuh di Jakarta.

Ahok, memang lolos untuk sementara ini dalam kasus Sumber Waras, karena KPK hingga saat ini masih belum menemukan unsur pelanggaran hukum. Tetapi berbeda dengan reklamasi di pulau-pulau di Teluk Jakarta.Pembayaran di muka kontribusi tambahan yang diminta Ahok kepada pengembang reklamasi, dianggap tidak mempunyai dasar hukum. Ahok sendiri beralasan, diskresi itu sengaja dia gunakan karena Pemprov DKI memiliki anggaran yang terbatas.”Kalau nggak (dari kontribusi tambahan), kamu bangun tanggul puluhan triliun dari mana? Sekarang, Jakarta saja uangnya itu buat trotoar bisa 25 tahun baru beres,” kata Ahok, di Kebon Jeruk, Jakarta, Minggu (22/5).

Ahok awalnya mengatakan, jika perjanjian yang dia sebut sebagai ‘perjanjian preman’ itu berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Namun, belakangan dia beralasan kalau perjanjian itu dibuat dengan menggunakan hak diskresi sebagai Kepala Daerah.

Sebab jika dibaca seksama Keppres Nomor 52 itu, tidak ada satu pun Pasal yang mengatur tentang kontribusi tambahan, apalagi soal mekanismenya. Begitu pula dengan penggunaan hak diskresi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur tentang hak diskresi juga dibuat jauh setelah ‘perjanjian preman’ itu disepakati.

KPK diketahui saat ini tengah menelusuri dasar hukum permintaan yang dituangkan dalam sebuah perjanjian antara Pemprov DKI dengan empat pengembang reklamasi pada 18 Maret 2014. Ketua KPK Agus Rahardjo berulangkali mengatakan soal alasan hak diskresi ini. Menurutnya, penggunaan hak diskresi tidak boleh sembarangan.

“Kan diskresi juga ada rambu-rambunya. Kalau tidak ada peraturannya ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu,” tegas Ketua KPK Agus Rahardjo ketika itu.

JOKOWI MINTA DISKRESI TIDAK DIPIDANA – Presiden Jokowi meminta agar aparat penegak hukum tidak mempidanakan pejabat pemerintahan yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan dalam situasi tertentu. Pernyataan Jokowi itu disampaikan sehubungan adanya keluhan yang disampaikan para kepala daerah yang terancam tak bisa berinovasi mengambil kebijakan karena ancaman terkena pidana korupsi.”Tahun lalu, saya sampaikan kepada saudara-saudara bahwa yang berkaitan dengan kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan dan jangan dipidanakan,” kata Presiden saat memberikan pengarahan kepada jajaran Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7).Diskresi merupakan keputusan atau kebijakan yang ditetapkan pejabat pemerintah untuk menghadapi persoalan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur atau adanya stagnasi pemerintahan.

Didampingi Wapres Jusuf Kalla, Presiden menyampaikan pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi tugas seluruh elemen bangsa. Ia meminta kepada seluruh elemen penegak hukum agar berkolaborasi dengan baik dalam menjalankan tugasnya.”Harus ada orkestrasi. Terutama tindakan administrasi di pemerintahan, mana yang berniat mencuri dan mana yang berniat nyolong. Saya kira aturan-aturannya sudah jelas. Mana yang pengembalian mana yang tidak,” ujar Presiden Jokowi.Presiden Jokowi juga menyinggung tentang kerugian negara yang harus dikembalikan dalam waktu 60 hari. Pernyataan tersebut, seperti mengkritik penanganan kasus Sumber Waras. Dimana Ketua BPK Harry Azhar Azis meminta Pemprov DKI Jakarta untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dalam dalam waktu 60 hari.

“Nilai kerugian harus konkret, tidak mengada-ada. Tidak diekspos ke media secara berlebihan sebelum dilakukan penuntutan,” kata Presiden Jokowi.

Redaktur : Ramidi | Reporter : Aji Prasetyo
Sumber:gresnews.com
Posted by: Admin Transformasinews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.