TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA. – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Agus Raharjo mengkritik himbauan Presiden Joko Widodo kepada aparat penegak hukum agar tidak melakukan pemidanaan terhadap kepala daerah karena melakukan diskresi.
Tindakan yang dilakukan pejabat negara dalam mengambil suatu keputusan atau lazim disebut diskresi, menurutnya, harus dilakukan dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Himbauan Presiden itu terkesan melindungi para bawahannya, terutama kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, maupun walikota tidak bisa dipidana.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritik hal tersebut. Sebab dalam perjalanannya, pejabat negara sering kali berlindung jika melakukan suatu tindakan yang melanggar peraturan dengan alasan diskresi.
Menurut Agus, himbauan tidak dikenakannya tindak pidana bagi kepala daerah yang melakukan diskresi bukanlah solusi yang tepat dan hanya terkesan mengambil jalan pintas saja.
Overmarcht sendiri berarti keadaan terpaksa. Dalam Pasal 48 KUHP berbunyi “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa telah melakukan sesuatu dibawah pengaruh dari suatu keadaan memaksa,” begitu bunyi pasal tersebut.
Dalam pengertiannya, keadaan memaksa dapat diartikan dalam tiga kategori. Pertama peristiwa yang di dalamnya terdapat pemaksaan fisik, kedua peristiwa yang di dalamnya terdapat pemaksaan psikis, dan ketiga peristiwa yang di dalamnya terdapat suatu keadaan memaksa lainnya.
Agus melanjutkan jika para kepala daerah menerima persetujuan APBNP pada bulan Oktober, maka seharusnya sudah tidak ada lagi pengajuan yang lain. Kemudian, setelah itu para kepala daerah hanya tinggal menyelesaikannya di depan anggota dewan.
“Kalau mau bangun itu, saya kasih clue, buka anggaran kesehatan Amerika. Setahun sebelumnya anggaran sudah diajukan ke kongres dalam bentuk yang cukup detail. Lalu anggaran militernya, dimana pasukan Amerika akan bawa ke Irak sudah ketahuan, peluru ini, bawanya ini,” pungkas Agus.
Himbauan ini, menurut Agus, bisa berimbas pada program revolusi mental yang digaungkan pemerintah. Program tersebut terkesan dilakukan tidak tulus dan hanya setengah-setengah. Mantan Ketua LKPP ini mengatakan, revolusi mental harus memiliki dasar yang kuat, karena itu harus ada aturan yang kokoh untuk mewujudkan program tersebut.
“Kalau kita punya program revolusi mental, kan ada program, tidak langsung terwujud. Pembentukan revolusi mental, harus ada aturan-aturannya,” tuturnya.
Seperti diketahui akhir-akhir ini KPK gencar melakukan pengusutan sejumlah kasus korupsi di lingkungan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Diantaranya kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras. Serta kasus terkait izin reklamasi dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, yang mengarah pada pengusutan kasus pembangunan sejumlah rumah susun yang sebagian dananya diambil dari pungutan pengembang reklamasi. Langkah ini merupakan inovasi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang mengadopsi gagasan Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI. Sebagai upaya mengentaskan pemukiman kumuh di Jakarta.
Ahok awalnya mengatakan, jika perjanjian yang dia sebut sebagai ‘perjanjian preman’ itu berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Namun, belakangan dia beralasan kalau perjanjian itu dibuat dengan menggunakan hak diskresi sebagai Kepala Daerah.
Sebab jika dibaca seksama Keppres Nomor 52 itu, tidak ada satu pun Pasal yang mengatur tentang kontribusi tambahan, apalagi soal mekanismenya. Begitu pula dengan penggunaan hak diskresi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur tentang hak diskresi juga dibuat jauh setelah ‘perjanjian preman’ itu disepakati.
KPK diketahui saat ini tengah menelusuri dasar hukum permintaan yang dituangkan dalam sebuah perjanjian antara Pemprov DKI dengan empat pengembang reklamasi pada 18 Maret 2014. Ketua KPK Agus Rahardjo berulangkali mengatakan soal alasan hak diskresi ini. Menurutnya, penggunaan hak diskresi tidak boleh sembarangan.
“Kan diskresi juga ada rambu-rambunya. Kalau tidak ada peraturannya ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu,” tegas Ketua KPK Agus Rahardjo ketika itu.
“Nilai kerugian harus konkret, tidak mengada-ada. Tidak diekspos ke media secara berlebihan sebelum dilakukan penuntutan,” kata Presiden Jokowi.