TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tujuh Aparat Sipil Negara (ASN) yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan keberadaan kata “dapat” pada norma Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata ketua MK Arief Hidayat, membacakan petikan amar putusan atas perkara 25/PUU-XIV/2016, Rabu (25/1).
Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Sedang Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor pernah diputus MK dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006. Saat itu, MK menyatakan bahwa norma a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Kali ini, MK memberi putusan lain atas norma yang sudah diputus sebelumnya. MK berpendapat hal itu sangat mungkin dilakukan mengingat setelah diucapkannya Putusan 003/PUU-IV/2006 tersebut, pembentuk Undang-Undang mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Menurut MK, dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan, kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor mengalami pergeseran paradigma.
“Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dikenai tindak pidana korupsi,” kata hakim konstitusi Patrialis Akbar, membacakan pertimbangan MK.
Patrialis menjelaskan, dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. MK berpendapat, selama ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006, pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah menyebabkan perbuatan yang dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara secara nyata. Lebih dari itu, bahkan perbuatan yang hanya “dapat” menimbulkan kerugian sekalipun—artinya berpotensi—sudah bisa diajukan ke pengadilan.
“Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga diantaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi,” sambung Patrialis.
Atas dasar itulah sebagaimana dalil pemohon, MK menilai ketentuan norma Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor kerap dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk melakukukan kriminalisasi. Disampaikan hakim konstitusi Anwar Usman, kriminalisasi terjadi karena aparat penegak hukum memiliki perbedaan tafsir dalam memaknai kata “dapat” di dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.
Oleh karena itulah MK berpendapat, pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
“Selain itu, menurut Mahkamah kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945,” kata Anwar.
LATAR PERMOHONAN — Gugatan terhadap Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dimohonkan oleh Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun yang sebelumnya menyandang status tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan 3 UU Tipikor berpeluang memberi keleluasaan kepada negara, dalam hal ini penegak hukum, untuk bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan kewajibannya bertindak atas dasar hukum yang jelas dan pasti.
Dalam persidangan yang digelar pada Selasa (10/5/16) lalu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Indra Perwira yang dihadirkan pemohon menerangkan, dalam praktiknya, sejak UU Tipikor diundangkan, pejabat atau badan administrasi cenderung tidak berani membuat freies ermessen (sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang) karena takut terjerat tindak pidana korupsi.
Sedang mantan hakim MK Harjono, yang juga dihadirkan sebagai ahli pemohon pada Selasa (24/5/16), menyebut bahwa ketentuan a quo bersifat multitafsir dan mengandung ambiguitas. Harjono menerangkan, korupsi merupakan extraordinary crime yang merugikan keuangan negara. Namun dengan adanya kata “dapat”, justru tindakan yang belum merugikan keuangan negara dapat dikenai pasal tersebut.
Menanggapi putusan MK, kuasa hukum pemohon Heru Widodo memberi apresiasi kepada para hakim MK. Menurutnya, MK memang harus meninjau kembali putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 lantaran situasi saat putusan itu dibacakan sudah jauh berbeda dengan situasi saat ini.
“Ketika UU itu diputus pada 2006, berbeda suasananya dengan putusan MK 10 tahun kemudian. Dalam proses penegakan hukumnya, terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang dicita-citakan saat itu dengan kondisi saat ini. Putusan baru ini merupakan suatu hal yang positif karena memberikan kepastian hukum,” kata Heru Rabu (25/1).
Heru menjelaskan, pihaknya menggugat kata “dapat” dalam norma Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 2 UU Tipikor yang dinilai dalam praktiknya banyak disalahgunakan oleh penegakan hukum. Menurut pemohon, norma itu kerap digunakan bukan memberantas korupsi, tapi untuk mengkriminalisasi kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kerugian yang disebabkan praktik maladministrasi.
Oleh karena itulah para pemohon yang notabene para ASN di tingkat daerah meminta supaya norma itu dinyatakan inkonstitusional. Norma yang tadinya berupa delik formil itu pun diminta oleh pemohon untuk dijadikan delik materil.
“Mudah-mudahan dengan putusan ini tidak ada lagi kriminalisasi terhadap maladministrasi. Maladministrasi ya sebaiknya diselesaikan dengan UU Administrasi Pemerintahan,” kata Heru.
UBAH KUALIFIKASI DELIK KORUPSI – Meski MK mengabulkan permohonan Firdaus dkk, tapi dalam proses pengambilan putusan, sikap MK terbagi. Sejumlah 4 dari 9 hakim MK menyatakan dissenting opinion atau beda pendapat mengenai kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Empat hakim yang menyatakan beda pendapat tersebut yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan Maria Farida Indrati.
Palguna menerangkan, pihaknya menilai keberadaan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak bertentangan dengan kepastian hukum, sebagaimana didalilkan para pemohon. Menurutnya, di dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dikatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Sementara itu, lanjut Palguna, dalam Penjelasan Pasal 3 UU Tipikor dikatakan, kata “dapat” diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2. Dengan demikian, menghilangkan kata “dapat” dari rumusan kedua norma pasal tersebut akan mengubah secara mendasar kualifikasi delik dari tindak pidana korupsi, dari formil menjadi delik materiil.
“Konsekuensinya, jika akibat yang dilarang, yaitu ‘merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ belum atau tidak terjadi meskipun unsur ‘secara melawan hukum’ dan unsur ‘memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi’ telah terpenuhi, maka berarti belum terjadi tindak pidana korupsi,” kata Palguna.
Palguna juga menyebut, dengan telah diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan, maka kekhawatiran bahwa adanya kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah, termasuk para pemohon, dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan yang berupa kerugian negara, adalah pandangan yang tidak beralasan.
“UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan perlindungan terhadap pejabat pemerintah apabila yang bersangkutan diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara,” kata Palguna.
Palguna menerangkan, menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, terhadap adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara, hal tersebut akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah.
“Ketentuan demikian jelas merupakan penegasan akan adanya bentuk perlindungan terhadap pejabat pemerintah karena dengan adanya mekanisme tersebut aparat penegak hukum tidak serta-merta dapat mendalilkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah, termasuk ada atau tidaknya kerugian negara,” paparnya.
Sumber: Gresnews.com/zulkifli songyanan
Posted by: Admin