
TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG. Gerbong mutasi di tubuh Polri menyebabkan sejumlah perwira tinggi (pati) pindah tugas. Salah satunya Kapolda Sumsel Irjen Pol Agung Budi Maryoto yang digeser menjadi Kapolda Jawa Barat.
Penggantinya, Irjen Pol Zulkarnain Adinegara, yang sebelumnya menjabat Kapola Riau. Mutasi itu tertuang dalam Surat Telegram ST/2032/VIII/2017. Surat tersebut diteken oleh Asisten SDM Kapolri Irjen Arief Sulistyanto atas nama Kapolri Jenderal Pol Muhammad Tito Karnavian.
Siapa Irjen Pol Zulkarnain Adinegara? Ternyata, dia wong asli Sumsel. Dilahirkan di Desa Tanah Merah, Belitang Madang Raya, OKUT, 31 Oktober 1961 lalu.
Dia alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1985. “Iya, saya bakal pulang kampung nih,” ujar Zulkarnain kepada Sumeks.
Bertugas di jajaran Polda Sumsel bukan pengalaman baru bagi suami Milawati itu. Dia pernah menjabat Kapolres OKI selama 15 bulan.
Kemudian, Kapolres Muara Enim selama dua tahun, dan Wadir Intelkam Polda Sumsel selama 10 bulan.
“Saat tugas di OKI, saya pernah menulis artikel di Harian Sumatera Ekspres tentang “Duta Kayuagung”. Jadi, koran Sumatera Ekpsres bagi saya sangat familiar. Selalu saya baca,” lanjutnya.
Kata ayah empat anak itu, dia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuanya petani kecil. Sesekali, ayah nyambi jadi sopir angkot.
Kondisi keluarganya membuat Zulkarnain tercambuk untuk mengubah garis hidup. “Saya sudah terbiasa hidup susah. Saya ikut orang tua menanam padi di sawah dan juga menggembalakan ternak setiap pulang sekolah,” kenangnya.
Anak kedua dari delapan saudara itu sering terlambat bayar uang sekolah. Padahal, karena dari keluarga ekonomi “di bawah”, bayar sekolahnya murah. “Tapi tetap saja sering macet, makanya sering ditegur pihak sekolah,” tutur mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya tahun 2008 itu.
Zulkarnain pernah kuliah di Universitas Sriwijaya (Unsri). Awalnya, tak terpikir sedikit pun akan jadi polisi. Bahkan dia bertekad untuk jadi profesor. “Di rumah kayu kami, saya tulis ‘Profesor Zulkarnain’ pakai arang,” bebernya.
Tiap hari, dia harus jalan kaki 3-5 km untuk ke sekolah. Sesekali naik sepeda. Niatnya pantang surut. Setelah lulus SMA, dia merantau ke Palembang. Dia tinggal menumpang di rumah sanak saudara. Lantaran tidak punya uang dan kampung yang jauh, membuat ia jarang sekali pulang.
Takdirnya berkata lain. Berkat otaknya yang encer, dia lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, tahun 1981. Saat itulah, Zulkarnain tahu kalau kuliah di kedokteran mahal. “Kami dikenakan uang pangkal atau uang muka Rp.33 ribu, harga sepatu Rp.5 ribu. Bagi saya itu agak susah, tak punya uang. Saya akhirnya tak bayar uang muka,” ceritanya.
Kandas kuliah di kedokteran tak membuat Zulkarnain bersedih hati. Dia yakin selalu ada jalan buat orang yang bersungguh-sungguh. Berawal dari pertemanannya dengan seorang anak tentara, Zulkarnain pun ditawari untuk masuk Akabri (sekarang Akpol).
“Saya tidak mengerti apa itu. Bapak teman saya itu seorang kolonel. Karena saya sering ke rumah dia di Palembang, diajak daftar Akabri. Itu seingat saya di Kodam II/Sriwijaya. Ya ikut daftar saja saya,” tuturnya.
Ketika itu, perlu surat izin untuk ikut tes Akabri. Dia semula berniat memalsukan izin orangtua lantaran tak bisa pulang kampung. Tapi niat itu tidak terlaksana lantaran pamannya di Palembang boleh jadi wali. “Saya waktu itu nggak yakin. Bahkan sama sekali tidak tahu apa itu Akabri, termasuk pangkat-pangkatnya. Jadi saya pelajari semua,” imbuh dia.
Sebulan menjalani tes, dia pun dinyatakan lulus. Tapi jalannya nyaris terhalang lantaran tidak punya biaya untuk berangkat ke Magelang untuk pendidikan. Untung saja Zulkarnain dapat bantuan dana dari sanak saudara, ditambah lagi biayanya juga ditanggung oleh negara. “Orang tua saya berpesan, agar bersungguh-sungguh. Jangan sia-siakan kesempatan yang sudah didapat,” lanjutnya.
Zulkarnain sempat terpikat untuk bergabung di Angkatan Udara (AU). Ketika itu ia merasa kalau prajurit AU merupakan sosok yang gagah. “Kayaknya gagah aja, jadi penerbang atau pilot. Tapi setelah di sana, orang cerita-cerita, kalau Angkatan Darat (AD) bisa jadi pejabat seperti bupati. Makanya saya jadi pengen juga,” candanya.
Di tengah-tengah kegalauan itu, Zulkarnain dipanggil dan disuruh membuat pernyataan soal pilihannya di Akabri. “Dipanggil, disuruh buat pernyataan. Apabila tidak sesuai dengan pilihan masuk AU, apakah bisa ditempatkan di mana saja, saya jawab siap. Itulah akhirnya saya masuk polisi,” lanjutnya.
Setelah itu, baru dia sadar. Dirinya jadi seorang polisi. Kata Zulkarnain, Polri itu harus sosialis, lebih melekat dengan masyarakat. “Saya pikir-pikir, memang jiwa saya jadi polisi. Saya ingin melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya,” tandasnya.
Pelan tapi pasti, Zulkarnain yang berbakat di bidang Reserse dan Intelijen itu pun menemukan jalannya. Bahkan dia pernah dapat kesempatan mengenyam ilmu kepolisian di luar negeri. “Pernah sekolah sebulan di Korea, terus kursus singkat kehumasan Polri di Australia,” kenangnya.
Zulkarnain juga pernah terpilih memperkuat Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Untuk penugasan di luar negeri, dia pernah ke Mozambik tahun 1994-1995 selama 10 bulan.
Saat itu masih berpangkat kapten (sekarang AKP). “Awal pertama daftar masuk petugas PBB di Haiti, saya tidak lulus. Kemudian saya kursus bahasa Inggris tiga bulan, saya ikut tes ke Mozambik, United Nation Operation of Mozambik dan diterima,” ungkapnya.
Selama di Mozambik, dia sempat ditugasi di dua kota, yaitu Maputo dan Beira. Di situlah dia banyak mengambil pelajaran tentang arti kehidupan, saling membantu dan melayani sepenuh hati. Di sana pula ia sempat rindu berat dengan negara sendiri, daerah dan orang tuanya.
Zulkarnain juga pernah ikut operasi ke Kroasia. Ditugaskan PBB menjadi polisi perdamaian selama satu tahun, 1997 hingga 1998. Berkat itu semua, jebolan S2 Hukum Pidana dari Unsri 2005 serta Unsyiah Banda Aceh 2006 tersebut akhirnya menuai hasil memuaskan.

Zulkarnain juga punya cita-cita mulia. Yaitu menjadi polisi yang rahmatan lil alamin, serta menjadi contoh dan panutan yang baik. Ia juga berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas dari korupsi. Motivasi itu didukung penuh oleh sang istri tercinta.
“Istri pula yang terus mendorong saya supaya menjadi polisi yang selalu bermanfaat bagi orang lain dan alam,” bebernya. Kepada generasi muda sekarang, dia mengingatkan pentingnya punya mimpi. “Setelah itu. jaga terus dan gapai sebisa mungkin. Nanti Allah yang akan membukakan jalan,” katanya.
Yang penting lagi, niat yang baik dan terus berdoa disamping berusaha. Zulkarnain meyakini, doa yang terus dipanjatkannya selama ini menjadi repeat magic power. “Keberhasilan saya ya karena itu salah satunya,” imbuhnya.
Soal keluarga, dia punya empat anak. Yakni Syanaz Putri Adinegara, Bunga Syanaz Adinegara, Muhammad Ghalib Adinegara, dan Berlian Adinegara. Anak sulungnya yang seorang dokter telah menikah dan dia kini kakek dari dua cucu.
Anak keduanya kini bekerja di Jambi, sedangkan yang ketiga kelas 6 SD. Sedangkan anak keempat baru duduk di bangku kelas 2 SD. “Saya tidak ada keinginan memaksakan kehendak mau jadi apa pada anak-anak saya. Biar mereka yang memilih. Saya yakin betul, manusia itu diciptakan Allah sudah ada takdirnya,” lanjut dia.
Diwartakan sebelumnya, selain Kapolda Sumsel, Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Asep Suhendar dimutasi menjadi Sahlijemen Kapolri. Jabatannya akan diisi Brigjen Pol Bimo Anggoro Seno, yang sebelumnya Waket Bidakademik STIK Lemdikpol.
Lalu, Dirreskrimsus Polda Sumsel Kombes Pol Irawan David Syah menjadi Kabag Anev RO Pid DivHumas Polri. Penggantinya Kombes Pol Rudi Setiawan yang sebelumnya Direktur Reskrimsus Polda Lampung. Sedang Wadirreskrimum Polda Sumsel AKBP Hadi Poerwanto menjadi Direktur Reskrimum Polda Riau.
Sumber: Sumeks.co.id (vis/ce1)
Posted by: Admin Transformasinews.com
