TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG. Laonma PL Tobing (Kepala BPKAD Sumsel) terdakwa dugaan korupsi dana hibah Sumsel tahun 2013, Rabu (21/6/2017) menangis di dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Klas I A Palembang.
Sementara terdakwa Ikwanudin (Mantan Kepala Badan Kesbangpol Sumsel) terlihat tegar dan tenang saat memberikan keterangan di persidangan.
Hal tersebut terungkap saat kedua terdakwa dihadirkan dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa dan pemeriksaan kedua terdakwa sebagai saksi.
Sembari menangis Laonma PL Tobing menjelaskan, jika dalam perkara ini kapasitasnya sebagai Kepala BPKAD dan Bendahara Pemerintah seperti dicampuradukan sehingga seolah-olah semua kesalahan ada padanya.
“Apalagi soal kerugian negara yang katanya ada proposal fiktif, fakta persidangan saya tidak kenal dengan orang-orang penerima dana hibah. Inilah yang menjadi pertanyaan saya selama ini mengapa seolah-olah kesalahan dan kerugian negara semuanya ada di saya selaku SKPD yang mencairkan dana hibah. Padahal, saya bekerja telah seusai dengan aturan dan undang-undang dan saya memiliki SK gubernur yang menunjuk saya untuk menyalurkan dana hibah. Apalagi saya tidak ada kepentingan dan keperluan apapun, saya hanya menjalankan tugas berdasarkan SK tersebut,” ujarnya sambil mengusap air mata dengan sapu tangan yang diambil dari saku celananya.
Sebelum melanjutkan memberikan keterangan, Laonma PL Tobing sempat meminta waktu sejenak kepada Majelis Hakim untuk menenangkan dirinya. “Maaf Yang Mulia Majelis Hakim, saya terbawa emosi dan saya minta waktu sejenak,” ujarnya.
Beberapa detik kemudian, Laonma PL Tobing melanjutkan keterangannya. Diungkapkannya, dalam perkara ini dirinya selaku BPKAD dan juga bendahara pemerintah bertugas mencairkan dana hibah berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM). Selanjutnya uang dana hibah tersebut ditransferkan kepada para penerima dana hibah.
“Setelah uang dana hibah berada di rekening bank penerima dana hibah maka tugas saya selesai. Sebab uang tersebut manjadi tanggung jawab penerima dana hibah. Untuk itulah harus ada pertangungjawabannya. Sedangkan untuk peroses sebelum dana hibah ditransferkan, awalnya kami menerima daftar atau list dari SKPD yang berisi nama-nama organisasi masyarakat (Ormas) dan LSM pengaju dana hibah. Jadi, memang aturannya kami tidak melakukan verifikasi sebab yang melakukannya yakni SKPD seperti Kesbangpol, karena BPKAD hanya mencairkan anggaran saja,” jelasnya.
Dari itulah, lanjut Tobing, sejak awal dirinya tidak mengetahui apakah ada proposal yang fiktif.
“Mengapa kami tidak tahu, karena peraturan mengatur yang melakukan verifikasi itu SKPD, kami hanya menerima listnya saja tanpa proposal. Namun saat akan dicairkan kami hanya meminta fotocopy KPT dan rekening bank penerima dana hibah serta Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang dilakukan antara SKPD yang memiliki alokasi dana hibah dengan penerima dana hibah.” jelasnya.
Lebih jauh dikatakannya, dalam penyusunan anggaran termasuk dana hibah dirinya menjabat sebagai anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan koorinator anggaran yang menyusun Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Pelafon Anggaran Sementara (KUA PPAS).
“KUA PPAS ini baru plafon sementara jadi belum menjadi APBD, karena harus dibahas lebih dulu di DPRD. Dalam penyusunan KUA PPAS, awalnya Bappeda selaku koordinator pendapatan meminta usulan dari semua SKPD yang kemudian dibahas di TAPD hingga akhirnya dibuat KUA PPAS, selanjutnya KUA PPAS barulah disampaikan ke DPRD dan dibahas di Banggar dan memang dalam KUA PPAS ini tercantum anggaran dana hibah,” terangnya.
Terkait anggaran dana hibah Sumsel tahun 2013 memang awalnya Rp. 1,4 triliun namun terjadi kenaikan anggaran hingga menjadi Rp. 2,1 triliun. Kenaikan ini dikarenakan adanya kebutuhan biaya yang mendadak seperti pelaksanaan Pikada.
“Selain Pilkada juga ada pendanaan untuk KPU dan Bawaslu serta adanya kenaikan dana reses anggota DPRD Sumsel saat itu, sehingga
total anggaran dana hibah menjadi naik,” terangnya.
Masih dikatakan Tobing, sedangkan untuk pencairan dana reses anggota DPRD Sumsel yang pencairannya dilakukan BPKAD, berawal dari dirinya menerima daftar nama-nama kelompok masyarakat yang diserahkan oleh anggota dewan saat itu. Dimana dana reses ini diberikan kepada masyarakat dari hasil reses yang dilakukan oleh setiap anggota dewan.
“Dana reses ini kan awalnya Rp. 2,5 miliar namun naik menjadi Rp. 5 miliar peranggota dewan. Permintaan kenaikan dana reses tersebut bermula dari Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) menyampaikannya kepada TAPD.
Lalu, dilakukan rapat namun Ketua TAPD yang dijabat oleh Sekda Sumsel saat itu tidak ada kesepakatan. Hingga PURT melakukan pertemuan dengan gubernur dan akhirnya kenaikan dana reses tersebut bisa naik. Dalam pertemuan itu, saya memang ada di lokasi tapi saya kan tidak memiliki wewenang menaikan anggaran,” ungkapnya.
Setelah dana reses dinaikan, kata Tobing, selanjutnya anggaran tersebut masuk ke dalam APBD hingga akhrinya ada masyarat yang mengajukan bantuan melalui anggota dewan.
“Karena ini dana reses maka bantuan yang diminta masyarakat merupakan hasil reses anggota dewan. Namun dalam proses pencairannya kami hanya bertugas mencairkan uang berdasarkan daftar kelompok masyarakat yang disampaikan anggota dewan kepada kami, kalau verifikasi proposal itu bukan wewenang melainkan anggota dewan itu sendiri,” tandasnya.
Sementara terdakawa Ikwanudin terlihat tenang saat memberikan keterangan dalam persidangan. Diungkapkan Ikwanudin jika dirinya menjabat sebagai Kepala Badan Kesbangpol Sumsel sejak April 2010 hingga tahun 2015.
Dalam perkara ini ia telah membuat tim verifikasi yang memeriksa proposal dana hibah, yang kemudian dibuatkan daftar atau lis lalu diserahkan ke BPKAD Sumsel untuk dicarikan kepada para penerima dana hibah.
“Kalau proposal yang masuk saat itu ada 700 proposal, namun setelah diverifikasi hanya 426 proposal yang lolos dan diajukan ke BPKAD untuk dicairkan,” jelasnya.
Diakui Ikwanudin jika saat itu memang dirinya belum memahami Permendagri yang mengatur tentang penerima dana hibah harus terdaftar tiga tahun di Kesbangpol. Untuk itulah dirinya berkonsultasi kepada Laonma PL Tobing selaku Kepala BPKAD Sumsel.
“Saya konsultasi karena proposal yang masuk kebanyakan baru terdaftar di Kesbangpol selama 1 tahun hingga 2 tahun. Saat saya sampaikan hal itu, Pak Tobing mengatakan kepada saya, tidak apa-apa karena kan lagi masa transisi. Bahkan saya sampaikan hal itu di ruangan Sekda dan di depan Sekda saat itu, Pak Yusril Effendi. Saat mendengar apa yang saya sampaikan, Sekda hanya diam saja. Karena Pak Tobing memperbolehkan makanya Ormas dan LSM yang terdaftar dibawah 3 tahun saya loloskan saat diferivikasi proposalnya,” ungkapnya.
Sambung Ikwanudin, dalam pemeriksaan dan verifikasi proposal ia mengaju kepada SK guburnur tentang penyaluran dana hibah Sumsel tahun 2013.
“SK ini menjadi pendoman bagi kami dan memfasilitasi pemeriksaan proposal yang kami lakukan. Sesuai SK tersebut, setelah diperiksa maka kami meneruskannya ke BPKAD Sumsel. Tapi sebelumnya saya selaku kepala Kesbangpol lebih dulu melakukan penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) kepada para penerima dana hibah,” pungkasnya.
Dalam persidangan tersebut juga dihadirkan tiga saksi meringankan (adcart) oleh kuasa hukum terdakwa Laonma PL Tobing. Ketiga saksi adcart tersebut yakni; Mulya Adiyaksa MM, Dr H Eko Soeberoto dan Dr Riduan SH Mhum. Sedangkan terdakwa Ikawanudin tidak mengajukan saksi adcart.
Usai mendengarkan keterangan para saksi Ketua Majelis Hakim, Saiman SH MH didampingi hakim anggota Abu Hanifiah SH MH dan Arizona SH MH menutup dan menunda persidang.
Sumber: KoranSN.com (ded)
Editor: Amrizal Ar
Posted by: Admin Transformasinews.com