TRANSFORMASINEWS, JAKARTA. “MISKIN Kok Mau Sekolah..!” Sekolah dari Hongkong…!!!, itu adalah judul sebuah novel karya Wiwid Prasetyo. Judul yang menggambarkan realitas pendidikan Indonesia saat ini. Berbagai masalah, mulai dari minimnya sarana dan prasarana belajar, rendahnya kualitas pengajar, kurikulum yang tak sesuai kebutuhan, hingga lulusan yang tidak “siap pakai”, menjadi persoalan yang tak kunjung selesai.
Hal yang paling memprihatinkan adalah belum terakomodasiya rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan. Padahal, dalam UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal itu sampai saat ini belum bisa tercapai. Masih banyak warga miskin yang terpaksa tidak sekolah karena tingginya biaya pendidikan. Bahkan, pendidikan sudah dijadikan sebagai barang dagangan yang mempunyai harga tinggi.
Komersialisasi pendidikan inilah yang menjadi akar permasalahan orang miskin tidak bisa sekolah. Komersialisasi atau industrialisasi pendidikan ini membuat kebutuhan pendidikan tidak bisa lagi dipenuhi oleh semua strata sosial dalam masyarakat. Hanya masyarakat yang beruang saja yang mampu mengenyam pendidikan berkualitas baik. Untuk masuk sekolah pertama kali saja sudah diharuskan membayar biaya pendaftaran yang tidak sedikit. Belum lagi adanya uang pangkal yang selama ini menjadi pangkal persoalan rakyat miskin. Bagi mereka yang mampu, semua persoalan itu tidak menjadi masalah yang berarti, karena masih bisa diatasi. Bahkan, mereka berani membayar berapa pun uang pangkal yang diminta sekolah, asalkan mereka bisa diterima di sekolah-sekolah yang bonafi.
Sementara bagaimana dengan nasib masyarakat miskin? Mereka terpaksa harus duduk di bangku-bangku reyot di sekolah dengan kualitas rendah, bahkan yang lebih parah lagi, mereka terpaksa tidak sekolah karena di sekolah reyot pun mereka tidak mampu membayar. Bagaimana mereka bisa pintar jika keadaanya masih seperti itu? Padahal, kemiskinanlah yang menjadi masalah terbesar bangsa ini, sehingga tidak maju-maju. Seharusnya, yang berhak diprioritaskan untuk memperoleh pendidikan layak dengan sarana dan prasarana modern adalah rakyat miskin. Jika rakyat miskin berhasil mendapatkan pendidikan yang layak, maka bisa dipastikan mereka akan bisa keluar dari kungkungan kemiskinan. Dengan begitu, cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum akan terwujud.