Rizal Ramli: Masih Punya Utang Tapi Sudah Diberi Surat Lunas?

KASUS SKL BLBI

Rizal Ramli: Masih Punya Utang Tapi Sudah Diberi Surat Lunas?

Rizal Ramli/Net

TRANSFORMASINEWS.COM, JAKARTA.  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung sebagai tersangka baru dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004, Sjamsul Nursalim.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN. KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun.

Ekonom senior yang juga mantan Menko Perekonomian era Gus Dur, Rizal Ramli menyampaikan kilas balik awal mula munculnya kasus BLBI. Rizal sendiri dijadwalkan akan memberikan kesaksian kasus ini pekan depan.

Awal cerita, kata Rizal, saat krisis melanda Indonesia tahun 1997 sampai 1998, dimana ketika itu Asia juga sedang krisis, Pemerintah Indonesia mengundang Dana Moneter Internasional (IMF), dan IMF memaksa Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang justru membuat ekonomi Indonesia anjlok, dari rata-rata 6 persen ke minus minus 13 persen.

“IMF memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan tingkat bunga dari 18 persen rata-rata menjadi 80 persen sehingga banyak perusahaan yang sehat, yang normal, mau nggak mau bangkrut, karena tingkat bunga yang sangat tinggi,” sebut Rizal dalam wawancara eksklusif salah satu televisi nasional, Jumat (28/4).

Lewat IMF pemerintah memaksakan menutup 16 bank kecil dan sedang, tetapi akibatnya rakyat Indonesia tidak percaya dengan bank nasional. Banyak yang mengalami ketidakpercayaan yang akhirnya hampir seluruh bank-bank besar termasuk BCA dan Danamon bangkrut dan kolaps, sehingga pemerintah menyelamatkan bank-bank itu dengan memberikan BLBI.

Selanjutnya, kata Rizal, IMF juga memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Mei 1998 sebesar 74 persen yang memicu demonstrasi besar-besaran, yang membuat ratusan orang meninggal dan ribuan orang luka-luka. Sehingga Rupiah anjlok dari 2.200 ke 15.000 per dolar.

“Saran-saran IMF yang disetujui ini oleh para menteri waktu itu, menteri bidang ekonomi komprador, mengakibatkan ekonomi Indonesia anjlok. Sehingga pemerintah harus menyelamatkan hampir 80 miliar dolar untuk membantu bank-bank ini, hampir sekitar 1000 triliun belum dihitung sekarang dengan bunga berbunganya,” ungkapnya.

Rizal menjelaskan, semula pinjaman BLBI dalam bentuk tunai dan support pemerintah, seharusnya hutang piutang dengan pemilik bank itu tetap tunai, tapi entah bagaimana dilobi, akhirnya diganti dengan penyerahan aset.

Di dalam menyerahkan aset ini, beberapa pengusaha pemilik bank bagus, menyerahkan aset yang bagus dan nilainya sepadan dengan BLBI yang diberikan.

Tapi ada juga yang nakal dan bandel memasukkan saham-saham dan perusahaan yang nilainya sebetulnya jauh lebih rendah.

Menurutnya, dengan indikasi tersebut maka dalam prakteknya terjadi penyelewengan, apalagi Indonesia dipaksa oleh IMF untuk segera menjual aset yang diserahkan kepada BPPB tersebut.

“Pada waktu kami masuk jadi Menko, setelah krisis, strategi kami adalah tidak menjual aset-aset itu, kecuali sangat diperlukan untuk menambal APBN, tapi restructure asset tsb untuk lima sampai tujuh tahun.

Dengan perkiraan kalau dijual juga dengan saran IMF harganya akan jatuh, Republik Indonesia akan sangat dirugikan, tapi kalau ikut policy kami, restructure lima sampai tujuh tahun baru dijual, pada tahun 2005 2007, dimana indeks sudah naik dari tadinya 700-an ke atas 1500, justru pemerintah Indonesia akan bisa mendapat lebih banyak, recovery ratenya lebih tinggi.

Tapi kebanyakan menteri ekonomi Indonesia manut dengan IMF yang konyol itu, sehingga akhirnya dipaksa menjual dengan harga sangat murah, dan merugikan, termasuk kasus penjualan BCA, yang oleh Pak Kwik Kian Gie (Menko Prekonomian sebelum Rizal) juga sudah jelaskan berkali-kali yang sangat merugikan Negara,” papar Rizal.

Terkait status tersangka mantan Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, Rizal mengatakan siap memberikan keterangan kepada penyidik KPK yang sudah dijawalkan pekan depan.

“Sebetulnya saya dan Pak Kwik sudah dipanggil KPK sebagai saksi untuk menggali kasus ini, tiga tahun lalu, tapi tidak ada apa-apa. Tiba-tiba dihidupkan kembali, Pak Kwik sudah dipanggil untuk dimintai keterangannya sebagai saksi, saya baru punya waktu minggu depan, saya akan datang ke KPK untuk memenuhi panggilan KPK,” terangnya.

“Sebetulnya tidak ada persiapan, yang penting adalah apa yang kami ketahui semasa merasakan menjadi Menko dan ketua KKSK itu berakhir pada pertengahan tahun 2001. Setelah itu periode pemerintahan yang baru di mana mereka menerbitkan kebijakan SKL dan melaksanakan kebijakan SKL,” tambahnya.

Jelas Rizal, pada waktu dia menjabat Menko Prekonomian sekaligus ketua KKSK pada 16 tahun yang lalu, Syafruddin Temenggung adalah sekretaris KKSK, dan anggotanya adalah para menteri di bawah Kemenko Perekonomian.

“Dalam masa kami tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh-aneh, tetapi setelah itu Saudara Syarifudin jadi ketua BPPN, kami sendiri tidak lagi di kabinet, jadi sebetulnya tidak terlalu mengikuti apa yang terjadi setelah itu.

Tetapi memang perlu dikaji apakah ini sekedar kesalahan ketua KKSK (setelah Rizal) atau ada faktor-faktor lain, yang mungkin dominan dan penting kenapa kejadian itu bisa terjadi,” imbuhnya.

Masih kata Rizal, semasa masih di kabinet, pihaknya tidak ada pikiran apalagi memberikan SKL BLBI dengan cuma-cuma. “Yang penting buat kami pada waktu itu, semua yang masih ada utang BLBI untuk mengakui utangnya.

Pada waktu itu kami minta supaya diberikan personal guarantee karena sebelumnya tidak diminta.

Agar punya tanggung jawab sampai hutangnya selesai, karena dengan memberikan personal guarantee, putra sampai cucu tanggung jawab kepada hutang tersebut.

Kami hanya jaga-jaga supaya yang punya utang memenuhi kewajibannya. Tetapi setelah kami tidak di situ, personal guarantee malah dibalikin kembali, sehingga pemerintah bargaining position nya menjadi lebih lemah dibanding penghutang,” katanya.

“Kami sendiri tidak mengikuti secara detail karena penerbitan SKL terjadi setelah pemerintahan kami. Kami waktu itu dalam pemerintahan Gus Dur. Surat keterangan lunas dikeluarkan kalau memang sudah lunas, artinya aset-asetnya sudah diserahkan senilai besarnya BLBI yang diberikan, tentu wajar SKL itu diberikan kepada yang telah melunasi.

Nah, yang jadi pertanyaan KPK, belum lunas kok sudah diberikan surat keterangan lunas? Ada masalah di situ. Kok bisa orang yang masih punya utang sudah diberi surat keterangan SKL. Tapi persisnya KPK yang bisa menjawab,” pungkasnya menambahkan.

Sumber: Rmol.co[rus]

Posted by: Admin Transformasinews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.