TRANSFORMASINEWS.COM-Harapan masyarakat agar koruptor dapat dihukum seberat-beratnya kembali terganjal, menyusul disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tanggal 6 Desember 2022 lalu.
Hal ini kian menunjukkan bahwa arah politik hukum pemberantasan korupsi semakin tidak jelas dan mengalami kemunduran. Betapa tidak, sebagian besar rumusan pasal tipikor yang dimasukkan dalam RKUHP justru memberangus kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Jika ditarik mundur, pangkal persoalan utamanya ada pada ketidakjelasan orientasi pemerintah dan DPR dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi. Meski dalam peringatan hari antikorupsi sedunia tahun 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pangkal dari tantangan pembangunan di Indonesia adalah korupsi, namun hal tersebut justru dijawab melalui pengesahan RKUHP usulan pemerintah yang mengakomodir penurunan hukuman bagi koruptor.
Lebih miris lagi, bukan hanya substansinya, aspek formil pengesahan RKUHP juga dipenuhi
dengan permasalahan serius. Misalnya, berdasarkan sejumlah pemberitaan, disebutkan hanya ada 18 orang yang hadir secara langsung dalam forum paripurna dan tercatat 285 anggota
absen. Potret buruk legislasi ini mengingatkan masyarakat pada momen pengesahan RUU KPK pada tahun 2019 lalu. Peristiwa ini patut dipersoalkan, terutama menyangkut pemahaman anggota dewan terkait syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan.
Apalagi, ada aspek yang sangat penting dipertimbangkan dalam pembentukan peraturan yakni, partisipasi dan kepentingan masyarakat. Secara substansi, setidaknya ada 4 catatan kritis terkait dimasukkannya pasal tipikor dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Pertama, hilangnya sifat kekhususan tindak pidana korupsi (tipikor). Penting diketahui bahwa meleburkan pasal tipikor ke dalam KUHP justru akan menghilangkan sifat kekhususan tindak pidana korupsi, menjadi tindak pidana umum.
Sehingga korupsi tidak lagi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Padahal, kejahatan korupsi kerap menggunakan modus operandi yang kompleks, berkembang, dan dampaknya dapat merugikan masyarakat. Sepatutnya, ketentuan yang mengaturnya tindak pidana korupsi juga bersifat kontemporer,
dinamis dan dapat menyesuaikan perkembangan kejahatan tersebut di masyarakat.
Terlebih, Indonesia sebagai negara peserta Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC) masih belum mengkriminalisasi sejumlah delik rekomendasi di dalamnya. Sehingga, pembentuk undang-undang seharusnya lebih memprioritaskan revisi UU Tipikor yang ada saat ini daripada harus memasukkan pasal tipikor yang bermasalah dalam KUHP.
Kedua, duplikasi pasal pada tindak pidana utama (core crimes) yang diatur dalam KUHP dengan UU asal. Misalnya, dalam pasal 603 KUHP yang merupakan bentuk serupa dari Pasal 2 UU Tipikor. Permasalahannya, pasal dalam KUHP tersebut justru menurunkan ancaman minimal pidana badan yang sebelumnya 4 tahun (dalam UU Tipikor) menjadi 2 tahun dan denda yang sebelumnya dapat dikenakan minimal Rp 200 juta menjadi Rp10 juta.
Jika dalam satu kasus terdapat penggunaan dua UU dengan duplikasi dan delik yang sama namun. Ancaman pidananya berbeda, hal tersebut justru akan membuka peluang bagi aparat penegak hukum menggunakan diskresinya untuk ‘jual-beli’ pasal yang paling menguntungkan bagi
tersangka korupsi. Penurunan minimum pidana badan juga setidaknya terjadi di sejumlah pasal dalam KUHP. Meski ada beberapa pasal yang menaikkan minimum pidana badan, seperti Pasal
604 yang merupakan bentuk lain dari Pasal 3 UU Tipikor, dari 1 tahun pidana penjara menjadi minimal 2 tahun. Namun hal ini tentu tidak sepadan dengan subjek yang diatur dalam pasal ini yakni, pejabat publik atau penyelenggara negara.
Rendahnya ancaman pemidanaan bagi pelaku tipikor dalam KUHP baru membuat agenda pemberantasan korupsi semakin mengenaskan. Pasalnya, berdasarkan catatan Tren Vonis ICW sepanjang tahun 2021, dari 1.282 perkara korupsi, rata-rata hukuman penjaranya hanya 3 tahun
5 bulan. Pertanyaannya, bagaimana bisa pemerintah dan DPR berpikir bahwa di tengah meningkatnya kasus korupsi dan rendahnya hukuman bagi koruptor, justru dijawab dengan.menurunkan ancaman hukum penjara bagi pelaku?
Persoalan ini semakin diperparah dengan disahkannya UU Pemasyarakatan yang memberikan kemudahan bagi terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat tanpa harus melunasi pidana tambahan denda dan uang pengganti, serta tidak harus menjadi justice collaborator.
Ketiga, tidak memasukkan ketentuan mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Hal ini tentu semakin meruntuhkan semangat pengembalian aset hasil kejahatan.
Catatan ICW dalam tren vonis 2021, dari total kerugian negara sebesar Rp 62,9 triliun, uang pengganti hanya mencapai Rp 1,4 triliun. Pada saat yang sama, sejumlah regulasi penting seperti
Rancangan UU Perampasan Aset justru tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional prioritas.
Keempat, berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. Sebab, dalam penjelasan pasal 603 KUHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga audit keuangan negara. Definisi tersebut mengarahkan bahwa pihak yang berwenang yang dimaksud hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagaimana diketahui, hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK kerap kali memakan waktu lama sehingga menghambat proses penetapan tersangka oleh penegak hukum.
Pengaturan dalam KUHP tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa, penegak hukum tidak hanya dapat berkoordinasi dengan BPK saat menghitung kerugian negara.
Akan tetapi, juga dapat berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan memungkinkan penegak hukum untuk dapat membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.
Berdasarkan argumen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa formulasi pasal tipikor dalam KUHP menjadi ‘kado manis’ dan karpet merah bagi koruptor untuk kesekian kalinya. Hal ini menambah daftar panjang rentetan upaya pelemahan pemberantasan korupsi yang terjadi di era Presiden Jokowi.
Pernyataan Menteri Hukum dan HAM yang mengatakan bahwa jika masyarakat tidak puas dengan pasal dalam KUHP dapat mengajukan judicial review ke MK pun rasanya percuma dilakukan.
Sebab, bukan tidak mungkin keputusan hakim MK nantinya tidak akan objektif karena dibayang-bayangi rasa takut akan bernasib sama dengan Hakim Aswanto yang dicopot dengan alasan kerap menganulir produk DPR.
Di luar itu, sikap komisioner KPK juga patut mendapat sorotan, Sebab, atas masalah ini, kelima pimpinan lembaga antikorupsi bahkan tidak menunjukkan sikap sama sekali. Hal ini berbanding terbalik dengan komisioner pada periode sebelumnya yang menyiapkan catatan kritis ketika akan diundang oleh Presiden untuk membicarakan masalah pasal tipikor dalam RKUHP.
Sumber: ICW