Mengupas Dugaan Korupsi Kondesat dan Gas Jambi Merang

ILUSTRASI KORUPSI/NET

TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG Kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Kasus yang melibatkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ini menjadi sorotan publik.

Lantaran, nilai dugaan korupsi ini kerugiannya diduga sebesar Rp. 2,716 miliar dollar AS. Jika di rupiahkan, nilainya sekitar Rp. 35 triliun.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya, mengatakan. Nilai tersebut terbesar sepanjang sejarah penghitungan kerugian negara oleh BPK.

“Kalau berdasarkan informasi BPK, memang baru kali ini ada penyelamatan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 32 triliun,” ujar Agung Setya, Senin (8/1/2018).

Jaksa Agung meminta polisi upayakan pelimpahan berkas kasus dugaan korupsi kondensat tersebut. Di mana Penyidik Polri berupaya menyita Rp 32 triliun kerugian negara yang diperoleh dari pemblokiran rekening tersangka. Bareskrim Polri juga menyita kilang minyak milik TPPI di Tuban, Jawa Timur, senilai Rp. 600 miliar.

Dugaan Korupsi

Atas salah satu tersangka, yaitu mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono, pengusutan perkara dugaan korupsi melalui penjualan kondensat sudah dilakukan Bareskrim Polri sejak 2015. Korupsi itu melibatkan SKK Migas (dulu bernama BP Migas), PT TPPI, dan Kementerian ESDM.

Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh SKK Migas untuk menjual kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan Wakil Presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina. Tapi, TPPI justru menjualnya ke perusahaan lain.

Senada dengan dugaan mega korupsi penjualan kondensat, Raden Priyono, diduga terlibat pada dugaan korupsi penjualan gas bagian negara pada blok PHE Talisman Jambi Merang. Indikasi dugaan korupsinya terlihat pada persetujuan BP Migas yang ditandatangani Priyono. Yaitu untuk mengubah peruntukan penjualan gas bagian negara tersebut.

Berawal dari surat pemberitahuan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, kepada Kepala BP MIGAS tanggal 13 Oktober 2009. Surat dengan No. 541/3055/Distamben/2009 perihal alokasi Gas sebesar 15 MMSCFD. Untuk rencana kebutuhan suplai listrik rencana kawasan industri Tanjung Api-Api dari blok Jambi Merang PHE Talisman.

Kemudian JOB Pertamina-Talisman mengirim surat ke BP MIGAS perihal Permohoan tersebut pada tanggal 03 Maret 2010. Dengan nomor surat ; MAN-J/10-0177 tentang penunjukan pejual gas dari Pertamina-Talisman kepada Perusahaan Daerah (PD) Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan (PDPDE Sumsel).

Sesuai dengan ketentuan pasal 44 ayat 3 huruf g Undang-Undang No. 22 tahun 2001. Dan ketentuan pasal 11 huruf g PP No. 42 tahun 2002. Di mana BP MIGAS yang bertugas menunjuk penjual gas bagian negara tersebut.

Permohonan PHE Talisman

Berdasarkan surat permohonan PHE Talisman tersebut, BPMIGAS mengeluarkan surat No. KEP-0034/BP0000/2010-S2 tertanggal 31 Maret 2010. Yang menunjuk PDPDE mewakili Pemprov Sumsel menjadi penjual gas bagian negara tersebut.

Namun anehnya, terdapat surat penjelasan Gubernur Sumatera Selatan kepada BPMIGAS. Untuk mengubah peruntukan penjualan gas bagian negara tersebut. Pada awalnya berdasarkan surat Gubernur No.541/3055/Distamben/2009 kepada Pertamina-Talisman peruntukannya untuk kebutuhan suplay listrik rencana kawasan industry Tanjung Api-Api.

Penjelasan Gubernur Sumatera Selatan kepada BP Migas melalui surat No. 541/0198/IV/2010. Meminta agar sebagian penjualan gas dari PHE Talisman dialihkan untuk memenuhi kebutuhan industri di Provinsi Jambi. Dan, disetujui oleh Kepala BP MIGAS, Priyono, melalui surat No. KEP-0034/BP0000/2010-S2 tertanggal 31 Maret 2010.

Lampiran surat persetujuan No. KEP-0034/BP0000/2010-S2 tertanggal 31 Maret 2010 tersebut berupa surat pemberitahuan kepada General Manger JOB Pertamina Talisman Jambi Merang. Ditandatangani oleh Kepala Divisi Pemanfaatan Minyak dan Gas, Ira Miriawati.

Di mana poin penting dari surat tersebut menyatakan, “Semua aktivitas yang berhubungan dengan negoisasi dan pernjanjian jual beli gas dikoordinasikan dan diketahui Divisi Pemanfaatan Minyak dan Gas BPMigas.”

Diduga perubahan peruntukan ini terkait dengan joint venture PDPDE dengan PT DKLN. Yaitu untuk rencana penjualan gas bagian negara tersebut kepada PT Lontar Papyrus, anak perusahaan “APP Group” di Provinsi Jambi sebesar 10 MMSCFD melalui perusahaan patungan PT PDPDE Gas.

Dalam klausal perjanjian joint venture tersebut keuntungan bagi hasil diduga adalah 95% PT DKLN. Sementara PDPDE mendapat jatah 5% atau jelasnya 5% : 95%.

Harga kontrak pembelian gas yang disetujui oleh PHE-Talisman-Pacific Oil untuk PDPDE Sumsel, senilai US$ 5,4 per MMBTU pada tahun pertama. Kemudian tahun kedua US$ 5,56.

Selanjutnya pada tahun ketiga US$ 5,73, tahun ke empat US$ 5,90, tahun ke lima US$ 6.08, tahun ke enam US$ 6.28. Lalu, tahun ke tujuh US$ 6.45, tahun ke delapan US$ 6.84 per MMBTU.

PDPDE Sumsel

Berdasarkan harga kontrak tersebut, PDPDE Sumsel selaku pemegang hak penjualan gas dari PHE Talisman mendapatkan fee penjualan sebesar US$ 0,1. Atau, pada kisaran 5% dari keuntungan penjualan gas ke pihak ketiga. Sementara, PT DKLN mendapat hak keuntungan sebesar 95%.

Penjualan gas ke PT Lontar Papyrus melalui perusahaan patungan PDPDE dan PT DKLN yaitu PT PDPDE gas. Harga kontrak diperkirakan US$ 7,5 per MMBTU. Di mana harga pembelian gas dari PHE Talisman sebesar US$ 5,4 per MMBTU.

Dari penjualan tahun pertama tersebut, PDPDE Sumsel diduga mendapat bagian keuntungan sekitar Rp.3.201.120.000. Sementara PT DKLN melalui perusahaan patungan tersebut mendapat jatah diperkirakan sebesar Rp.64.022.400.000.

Entah siapa yang membuat perjanjian bagi hasil ini. Berdasarkan Undang-Undang dan peraturan mana yang menjadi acuannya?

Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) dan cost recovery menggunakan hitungan konvensional base split. Di mana pemerintah sebesar 70 persen dan 30 persen kontraktor.

Gross split atau penambahan persentase diterapkan melihat lokasi blok migas. Apakah berada di lepas pantai ataukah laut dalam? Kemudian dengan melihat jenis blok berdasarkan kondisi geologi dan maksimal 10%, penambahan jatah kontraktor bagi hasil atau 60 : 40.

Dugaan Akal-Akalan

Cost recovery atau pengembalian/ pemulihan biaya kontraktor yang mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan. Akan diganti dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan.

Besaran penggantian biaya operasi atau investasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery). Bisa saja hanya sebagian tergantung dari hasil negosiasi. Pembagian hasil produksi (production split) setelah dikurangi biaya operasi dan kewajiban lainnya dibayarkan selama masa kontrak. Ini merupakan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor dan pemasukan dari sisi negara.

Investasi PT DKLN pada kisaran Rp 53 milyar untuk investasi pemipaan ke PT lontar Papyrus sepanjang 53 km. Kenapa harus menjadi bagi hasil 5% ; 95%? Yang harusnya recovery dibayar masa 8 tahun kontrak dan tetap mengacu pada aturan baku 70 : 30? Artinya, ada dugaan akal-akalan kontrak jual beli PDPDE dengan PT PDPDE Gas.

Demikian analisis yang disampaikan Ir. Feri Kurniawan, aktivis korupsi Sumatera Selatan, diterima Kamis (10-01-2019).

Sumber:  Klikanggaran.com 

Editor: A.Aroni 

Posted by: Admin