TRANSFORMASINEWS, JAKARTA. Media massa merupakan salah satu institusi demokrasi, karenanya mengintimidasi kebebasan media sama dengan mengintimidasi kebebasan berdemokrasi.
“Media massa bisa saja dikoreksi tetapi tidak boleh diintimidasi,” ujar pengamat media UIN Sunan Kalijaga Iswandi Syahputra dalam keterangan yang diterima media Minggu, (11/1).
Hal itu disampaikannya dalam menanggapi intimidasi yang diterima sebuah media di Bali yang mewartakan seputar revitalisasi Teluk Benoa.
Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat ini mengaku telah mendengar kabar sebuah media di Bali mendapat intimidasi dari pihak yang menolak revitalisasi Teluk Benoa. Ironisnya, intimidasi dilakukan oleh salah satu personil grup band lokal Bali.
“Editor sebuah media di Bali mendapat telepon dari seorang personil band lokal di Bali yang selama ini dikenal keras menolak revitalisasi teluk Benoa. Media itu diminta untuk tidak macam-macam dan menghentikan pemberitaan revitalisasi Teluk Benoa,” jelas Iswandi.
Doktor Kajian Budaya dan Media UGM Yogyakarta ini menjelaskan, jika ada pihak yang tidak senang dengan suatu pemberitaan maka bisa menggunakan hak jawab hingga menempuh jalur hukum.
“Dalam UU Pers sudah diatur hak jawab dan hak koreksi bagi seseorang atau kelompok yang dirugikan akibat suatu pemberitaan. Jadi tidak perlu pakai cara mengancam atau mengintimidasi pers,” ujarnya.
Intimidasi terhadap media massa merupakan pintu masuk bagi kriminalisasi pers, bagian dari kejahatan demokrasi.
“Kalau media kritis diintimidasi, yang paling dirugikan rakyat karena tidak memperoleh informasi yang cukup akan suatu masalah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Iswandi juga menawarkan win-win solution yaitu mendesak media yang diintimidasi untuk menawarkan hak jawab pada pihak yang mengintimidasi.
“Jika tidak bersedia gunakan hak jawab, laporkan saja yang intimidasi itu pada polisi. Media tidak boleh kalah pada aksi preman dan kriminalisasi seperti ini,” tutupnya.
Sumber: [rmol]