TRANSFORMASINEWS, JAKARTA. – Masyito, istri Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton meminta KPK segera mengusut tuntas perkara suap Akil Mochtar yang melibatkan sejumlah kepala daerah. Masyito ingin KPK bertindak adil dengan menetapkan para kepala daerah yang menyuap Akil sebagai tersangka.
Masyito dalam nota pembelaan (pleidoi) pribadi membandingkan perkara suap yang menyeret dirinya dengan kepala daerah lain yang menyuap Akil sebagaimana terbukti dalam putusan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
“Sedangkan kepala daerah lain sampai saat ini tidak juga ditetapkan tersangka, dalam putusan Akil Mochtar masih ada perkara pilkada lain. Yang jadi pertanyaan di hati saya ada apa dengan KPK. Tapi saya punya keyakinan KPK tidak tebang pilih,” ujar Masyito membacakan pleidoi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Senin (23/2/2015).
Dia lantas menceritakan awal mula perkenalannya dengan Muhtar Ependy, pengusaha atribut kampanye yang juga jadi terdakwa terkait perkara Akil Mochtar. Masyito menyebut pertama kali bertemu Muhtar saat bos PT Promic Internasional itu datang ke kediamannya bersama istrinya Lia Tirtasari pada sekitar November-Desember 2012.
“Mereka menawarkan bentuk atribut kampanye dengan harga yang sangat murah,” sebut Masyito.
Tapi ternyata Muhtar tak cuma menyodorkan jasa pembuatan atribut kampanye, melalui istrinya Lia, dia juga menawarkan bantuan pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang. Sebab Romi-Herton-Harno Joyo mengajukan keberatan hasil Pilkada Palembang ke MK pada 16 April 2013 setelah dinyatakan kalah oleh KPU setempat.
Memang Masyito tidak ikut mengurus keperluan terkait sidang di MK. Namun dia berkeyakinan suaminya sudah dicurangi sehingga dinyatakan kalah suara dari pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania
“Di tengah-tengah kebingungan dan kegundahan saya, tiba-tiba istri Muhtar Ependy menghubungi saya dan menyampaikan ke saya bahwa suaminya Muhtar Ependy bisa membantu dan mengurus sengketa Pilkada di MK karena itu biasa dilakukannya,” sambung Masyito.
Muhtar, menurut dia, juga sering menelepon dirinya dengan menakut-nakuti bakal kalahnya Romi di MK. “Muhtar Ependy sering menelpon memberikan informasi yang membuat kecemasan, apabila gugatan di MK tidak diurus maka suami saya tidak punya peluang untuk memenangkan gugatan,” bebernya.
Kepada Masyito, Muhtar bahkan menyebut posisi Romi yang hanya punya peluang tipis memenangkan sidang sengketa karena pihak lawan dalam Pilkada sudah menyiapkan dana besar untuk mengamankan kemenangan.
“Muhtar Ependy juga menyampaikan posisi perhitungan suara di MK, suami saya menang tipis dari pihak lawan yang sudah menyiapkan dana Rp 4-5 miliar. Saya selalu didesak, ditekan Muhtar Ependy bahwa posisi suami saya menang tipis,” sambung dia.
Perkataan Muhtar ini yang membuat Masyito menuruti keinginannya untuk menyediakan dana yang diminta. “Saya dengan berat hati memenuhi permintaan Muhtar Ependy, meskipun saya tidak tahu penggunaan uang tersebut untuk apa dan dibawa kemana,” sebut Masyito sambil menegaskan kalau suaminya tidak menggubris permintaan Muhtar.
Bukan cuma itu, Masyito juga menuruti kehendak Muhtar agar dirinya berbohong soal penyerahan duit di BPD Kalbar Cabang Jakarta termasuk mengaku tidak mengenal Muhtar.
“Muhtar Ependy dengan tega menjadikan saya korban sehingga saya terjerumus dalam kehinaan dan kesengsaraan ini. Rasa penyesalan dan putus asa masih terus membayangi. Saya tidak punya niat untuk melakukan penyuapan apalagi menyuap Akil Mochtar,” tegas Masyito.
Romi Herton dituntut hukuman 9 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsidair 5 bulan kurungan. Sedangkan Masyito dituntut 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsidair 4 bulan kurungan.
Jaksa meyakini Romi-Masyito memberikan duit suap Rp 14,145 miliar dan USD 316,700 ke Akil Mochtar selaku hakim konstitusi dan hakim panel yang menyidangkan perkara, melalui Muhtar Ependy. Tujuannya agar keberatan yang diajukan diterima MK dengan memutuskan menganulir kemenangan Sarimuda-Nelly.
Dalam putusan Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor pada 30 Juni 2014, majelis hakim menyatakan Akil terbukti bersalah karena telah menerima suap dari beberapa kepala daerah yang sedang bersengketa di MK. Suap diterima Akil antara lain dari pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Palembang, Empat Lawang dan Banten. Selain itu, Akil juga menerima suap dari pengurusan sengketa Pilkada Buton, Morotai termasuk Tapanuli Tengah. Saat ini Pengadilan Tipikor juga menyidangkan perkara suap Bupati Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang.
Sumber: detikNews