Sidang Dugaan Korupsi Kredit BSB Rugikan Negara Rp 13 Miliar, Hakim Ragukan Independent Penilai Agunan

Tampak juga saksi Nendroyogi Hadiputro saat menjadi saksi. (foto-dedy/koransn)

TRANSFORMASINEWS.COM, PALEMBANG – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Palembang, Kamis (5/12/2019) meragukan independent pihak penilai agunan dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang menilai harga jaminan mesin pengeboran minyak dan sebidang tanah PT Gatramas Internusa (PT GI) untuk syarat pengajuan kredit modal kerja (KMK) ke Bank Sumsel Babel (BSB).

Hal tersebut terungkap saat Armansyah Muhammaram selaku pihak dari Kantor Jasa Penilai Publik dihadirkan di persidangan dugaan korupsi kredit modal kerja BSB yang merugikan negara Rp. 13 miliar, untuk memberikan kesaksian kepada terdakwa Augustinus Judianto selaku Komisaris PT GI.

Hakim Dr Saepudin SH MH saat di persidangan mencecar pertanyaan kepada saksi Armansyah Muhammaram terkait hasil penilaian yang telah dilakukan saksi terhadap mesin pengeboran minyak dan sebidang tanah milik PT GI.

“Hasil penilaian saksi terhadap agunan PT GI, menilai jika harga mesin pengeboran minyak yakni Rp 15 miliar lebih dan untuk harga sebidang tanah yakni Rp. 620 juta hingga dari penilaian tersebut PT GI mendapatkan kredit dari Bank Sumsel Babel. Namun kenyataannya, disaat PT GI tidak membayarkan angsuran kredit dan perusahaanya pailit, agunan tersebut nilainya sangat berbeda jauh saat akan dilelang oleh pihak bank. Dimana untuk mesin bor hanya dinilai seharga Rp. 1,9 miliar sementara sebidang tanah harganya hanya Rp. 171 juta. Ini ada apa? dan selaku KJPP yang harus independent dalam melakukan penilaian agunan, apakah saksi bener-benar independent,” tanya Hakim.

Pertanyaan Hakim dijawab saksi Armansyah Muhammaram jika dirinya independent dalam pelakukan penilaian harga agunan.

“Saya benar-bener independent,” kata saksi.

Lalu Hakim kembali mengajukan pertanyaan, apakah dalam penilaian agunan tersebut, saksi mendapat pesanan dari PT GI sehingga melakukan markup nilai agunan.

Dikatakan saksi Armansyah Muhammaram, jika dirinya melakukan penilaian agunan sesuai Peraturan Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang memiliki badan hukum.

“Saya tidak melakukan itu (markup). Memang saya tahu jika saya melakukan penilaian harga agunan tersebut diminta oleh PT GI untuk syarat pengajuan kredit di BSB. Untuk penilaian agunan tersebut bukan baru pertama kali ini saja saya diminta oleh PT GI, namun sudah lima kali. Dalam penilaian agunan yang saya lakukan ini, demi Allah saya tidak melakukan permainan markup serta tidak ada sama sekali pesanan menaikan harga agunan,” ungkap saksi Armansyah Muhammaram.

Kemudian giliran Ketua Majelis Hakim, Erma Suharti SH MH mencecar pertanyaan kepada saksi. Dimana dalam pertanyaannya Ketua Majelis Hakim meminta saksi menjelaskan pola penilaian agunan yang dilakukan saksi.

“Coba saksi jelaskan bagaimana saksi menilai agunan mesin pengeboran minyak dan sebidang tanah tersebut hingga harga kedua agunan tersebut nilainya sangat tinggi,” tegas Ketua Majelis Hakim.

Pihak dari KJPP, Armansyah Muhammaram saat menjadi saksi di persidangan.

Dijelaskan saksi Armansyah Muhammaram, jika saat itu bagian keuangan PT GI yakni Fransiskus meminta dirinya melakukan penilaian terhadap agunan untuk keperluan kredit di Bank Sumsel Babel. Dalam proses penilaian tersebut, awalnya dirinya menerima berkas berupa bukti pembayaran atau invoice mesin pengeboran minyak yang dibeli terdakwa Augustinus Judianto kepada perusahaan penjual mesin tersebut, yakni PT Tesko. Sedangkan untuk agunan berupa tanah saat itu ia juga menerima foto copy sertifikat tanah seluas 8.200 meter persegi yang berlokasi di Bogor.

“Kalau untuk agunan mesin bor minyak, tertera dalam berkas invoice jika mesin tersebut dibeli tahun 2013 dari PT Tesko seharga Rp. 17 miliar lebih. Dikarenakan penilaian harga kala itu saya lakukan di tahun 2014, makanya dalam penilaian harga mesin saya lakukan penyusutan harganya yakni menjadi Rp. 15 miliar lebih. Kemudian untuk agunan berupa tanah di Bogor, saya lakukan penilaian harga dengan metode pendataan harga nilai pasar dan membandingkan tanah di sekitar lokasi yang dijual. Dimana saat itu saya bertanya melalui broker atau perantara yang menjualkan tanah di dekat agunan tanah yang sedang saya nilai harganya. Hasil penilaian ini maka tanah agunan PT GI saya nilai dengan harga Rp. 620 juta. Setelah itu saya membuat berkas laporan hasil penilaian harga agunan lalu saya berikan kepada PT GI untuk syarat meminjam kredit di Bank Sumsel Babel,” papar saksi.

Mendengar penjelasan saksi membuat Ketua Majelis Hakim meragukan penilaian harga agunan yang telah dilakukan oleh saksi Armansyah Muhammaram.

“Saksi kok menilai agunan tanah malah bertanya broker yang merupakan calo, tentu saja harganya ditinggikan. Harusnya saksi itu bertanya ke Camat bukan sama broker. Apalagi dari data di BAP diketahui jika tanah itu jauh lokasinya dan tanahnya kosong, lahannya tidak rata serta banyak rumput, masak harganya Rp. 620 juta. Oleh karena itu independent saksi kami ragukan. Ingat jasa penilaian itu disumpah untuk independent, tapi kalau melihat penilaian yang dilakukan saksi ini datanya saja amburadul. Bukan hanya itu saksi juga tidak melihat ke lokasi obyek tanah yang diagunkan. Namun saat usai ditanya jaksa penyidik, saksi ketakutan dan barulah saksi mendatangi objek tanah tersebut,” tegas Ketua Mejelis Hakim.

Tampak dalam persidangan saksi Armansyah Muhammaram terdiam sejenak usai dicecar Ketua Majelis Hakim. Kemudian saksi menyampaikan jika dalam penilaian harga agunan tersebut telah dilakukannya sesuai dengan aturan.

“Saya melakukan penilaian sesuai Standar Penilaian Indonesia atau SPI. Apalagi usai menilai harga agunan tersebut berkas agunan hasil penilaian harga yang diajukan ke PT GI diterima oleh Bank Sumsel Babel hingga akhirnya PT GI menerima kredit tersebut. Selain itu saya melakukan penilaian sesuai dengan jasa yang saya kerjakan, yang mana untuk menilai harga mesin saya mendapatkan bayaran dari PT GI sebesar Rp. 15 juta, sedangkan untuk penilaian harga agunan tanah saya dapat bayaran Rp. 12 juta,” tandasnya.

Sedangkan Sigit Paryanto selaku pihak dari Appraisal atau penilai agunan untuk lelang yang juga dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi mengungkapkan, jika dirinya melakukan penilaian terhadap agunan berupa mesin pengeboran minyak dan sebidang tanah milik PT GI ketika Bank Sumsel Babel akan melelang agunan tersebut.

“Saat itu PT GI tidak membayar hutang kredit ke Bank Sumsel Babel hingga perusahaan tersebut pailit. Maka dari itulah pihak bank meminta saya menilai harga agunan yang akan dilelang. Adapun metode yang saya gunakan dalam penilaian, yakni mencari harga mesin bor minyak tersebut di geogle. Sedangkan untuk tanah, saya lakukan penilaian harga dengan menilai harga tanah tersebut berdasarkan harga jual tanah yang ada di sekitar lokasi. Hasil penilaian yang saya lakukan diketahui untuk mesin bor minyak harganya hanya Rp. 1,9 miliar, sedangkan untuk tanah harganya hanya Rp. 171 juta,” terangnya.

Selain itu lanjutnya, ketika itu dirinya juga meninjau ke lokasi tempat agunan berada.

“Dari peninjauan ke lokasi ini saya melihat saat itu mesin bor minyak dalam keadaan terurai atau tidak dirakit yang diletakan di dalam tiga kontener. Saya mengecek ke lokasi hanya untuk memastikan merek dari mesin tersebut. Jadi mesin tersebut saat itu dalam kondisi tidak terpasang, namun dari keterangan teknisi di lokasi katanya mesin menyala kalau sudah dirakit,” tutupnya.

Sementara Nendroyogi Hadiputro selaku mantan GM Coparate Finece PT Rekin (Rekayasa Industri) yang juga dihadirkan menjadi saksi di persidangan mengatakan, jika PT Rekin merupakan perusahaan BUMN dan anak dari perusahaan PT Pupuk Indonesia.

“Saat perusahaan terdakwa yakni PT Gatramas Internusa menjadi Sub Kontraktor di PT Rekin, kala itu saya menjabat sebagai GM Coparate Finance. Tapi kalau sekarang jabatan saya yakni Direktur Keuangan di PT Pupuk Indonesia,” ungkapnya.

Masih dikatakannya, sebagai perusahan sub kantraktor saat itu PT GI melakukan pekerjaan pembangunan di PT Pusri Palembang. Kemudian untuk pembayaran hasil pekerjaan tersebut dibayarkan PT Rekin melalui dirinya selaku GM Coparate Finance.

“Saya membayarkan hasil pekerjaan PT GI berdasarkan berkas penagihan yang telah diperiksa dan diverifikasi oleh divisi lain di PT Rekin. Jadi saya mencairkan pembayaran saja sesuai berkas penagihan yang diajukan dan telah diverifikasi. Kalau untuk yang lainnya saya tidak tahu sebab di PT Rekin kami memiliki bidang masing-masing,” ungkapnya.

Lanjutnya, terkait adanya tunggakan kredit PT GI kepada Bank Sumsel Babel diketahuinya setelah pihak BSB melayangkan surat komplain ke PT Rekin.

“Saat itulah baru saya tahu kalau ada kejadian ini. Namun kala itu PT Rekin membalas surat komplaindari BSB, bahkan pengacara saya juga mendatangi Kantor BSB untuk menayakan permasalahan PT GI yang terjadi. Namun yang jelas, saat itu PT Rekin telah membayarkan hasil pekerjaan PT GI melalui rekening bank yang diajukan PT GI ketika penagihan,” tutupnya.

Usai mendengarkan keterangan para saksi, Ketua Majelis Hakim Erma Suharti SH MH menunda persidangan dan akan kembali melanjutkan sidang pada kamis depan.

“Sidang kami tutup dan akan dibuka kembali kamis depan dengan agenda keterangan saksi lainnya,” pungkas Hakim.

Sumber: koransn.com (ded)

Posted by: Admin